MARI BERFIKIR BAGI YANG MAU BERFIKIR
Oleh : Ani Nurhayanti Fazia
Jika
Anda sekalian ditanya? Ingin menjadi gelas kosong atau setengah
isi setengah kosong, jawaban apakan yang akan Anda berikan?
Ada
dua perumpamaan.
Pertama
:
Mungkin kita pernah membaca sebuah buku, ‘Half
Full Half Empty.’
Ketika
kita di suruh melihat sebuah gelas yang di dalamnya terdapat sedikit air ? Apa
yang akan Anda katakan?
Apakah setengah isi atau setengah kosong?
Tentu, keduanya memiliki cara pandang yang berbeda.
Kedua:
Sudahkah Anda menemukan jawabannya dari
perumpamaan pertama?
Jika
Anda bilang, “ Saya melihat gelas tersebut setengah kosong.” Maka saya tidak
mewajibkan Anda membaca lanjutan dari tulisan saya ini. Namun, apabila Anda
menjawab, “ Gelas itu setengah isi,” maka saya mewajibkan Anda membaca
perumpamaan kedua ini.
Oke,
jawabab Anda “ setengah isi.“ Kenapa
Anda bisa menjawab seperti itu? Padahal sahabat
saya pernah berkata, “ Jadilah gelas kosong agar kamu bisa memahami
orang lain.” Itu pun dia dapatkan dalam sebuah buku yang di baca
kakaknya.
Kenapa
harus seperti gelas kosong?
Begini
ceritanya ( sahabatku Riri maaf ya,
kalau kata-katanya tidak sama, saya berusaha menulis apa yang saya fahami dari kata-katamu
J ).
Ketika sahabatku itu duduk di sebuah kereta, dia sempat bercakap-cakap
dengan seseorang. Orang tersebut berbicara panjang lebar. Sesungguhnya dan
sebenarnya, dia sudah lebih mengetahui cerita yang diungkapkan oleh orang
tersebut. Sejujurnya dan sebenarnya pula, dia mempunyai pendapat tersendiri yang berbeda cara pandang dengan orang itu.
Akan tetapi, ia memilih pura-pura tidak tahu dan bersikap antusias terhadap apa
yang dibicarakan orang tersebut. Sehingga, orang tersebut mungkin akan berfikir
‘Senangnya bisa berbagi ilmu kepada orang
lain.’
Bayangkan jika sahabat saya berkata, “ Ya, sudah tahu! “ atau mungkin , “Bukan gitu da yang saya tahu mah, salah itu!”
Bagaimana perasaan orang tersebut.?
Secara tidak langsung, ketika kita merasa menjadi sebuah gelas yang
berisi. Kita akan menjadi congkak, merasa benar dengan apa yang telah kita
pahami sebelumnya, sehingga kita kurang simpatik, kurang bisa menerima dengan
apa yang diungkapkan oleh orang lain dan kurang memahami apa yang diinginkan
orang lain. ( Apakah ketika saya menuliskan ini Anda telah berfikir seperti itu
kepada saya? Merasakan bahwa saya telah sok tahu? )
Akan tetapi, jika kita menjadi gelas kosong untuk sejenak.
Kita akan mudah mendalami perasaan orang lain. Kita akan mudah berbaur
dengannya, memahami karakternya, membuat
dirinya merasa dihargai, dan mengetahui bagaimana cara yang tepat dalam
memberikan solusi/ pendapat padanya.
Bagaimana? Kedua perumpamaan tersebut sangat kontras bukan.
Ketika kita memilih gelas
setengah isi, maka kita mempunyai semangat yang tinggi dalam meraih
sesuatu. Kita menjadi seseorang yang tidak mudah putus asa dan berfikir maju ke
depan. Memandang segala sesuatu mempunyai berbagai solusi.
Di sisi lain kita disuruh untuk menjadi gelas yang setengah isi, dan dalam waktu bersamaan pula, kita di suruh
untuk menjadi gelas kosong.
Pendapat Anda?
Apakah tetap ingin menjadi gelas setengah isi atau mungkin menjadi gelas kosong?
Silahkan berfikir dan mulailah berbagi jawaban Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar