Selasa, 16 Agustus 2011

Gelas Kosong , Setengah Isi, atau Setengah Kosong?


MARI BERFIKIR BAGI YANG MAU BERFIKIR
Oleh : Ani Nurhayanti Fazia

Jika Anda sekalian ditanya? Ingin menjadi gelas kosong atau setengah isi setengah kosong, jawaban apakan yang akan Anda berikan?

Ada dua perumpamaan.

Pertama :
 Mungkin kita pernah membaca sebuah buku, ‘Half Full Half Empty.’
Ketika kita di suruh melihat sebuah gelas yang di dalamnya terdapat sedikit air ? Apa yang akan Anda katakan?
Apakah setengah isi atau setengah kosong?
Tentu, keduanya memiliki cara pandang yang berbeda.

Kedua:
 Sudahkah Anda menemukan jawabannya dari perumpamaan pertama?
Jika Anda bilang, “ Saya melihat gelas tersebut setengah kosong.” Maka saya tidak mewajibkan Anda membaca lanjutan dari tulisan saya ini. Namun, apabila Anda menjawab, “ Gelas itu setengah isi,” maka saya mewajibkan Anda membaca perumpamaan kedua ini.

Oke, jawabab Anda  “ setengah isi.“ Kenapa Anda bisa menjawab seperti itu?  Padahal sahabat saya pernah berkata, “ Jadilah gelas kosong agar kamu bisa memahami orang lain.” Itu pun dia dapatkan dalam sebuah buku yang di baca kakaknya.

Kenapa harus seperti gelas kosong?

Begini ceritanya ( sahabatku Riri maaf ya, kalau kata-katanya tidak sama, saya berusaha menulis apa yang saya fahami dari kata-katamu J ).

Ketika sahabatku itu duduk di sebuah kereta, dia sempat bercakap-cakap dengan seseorang. Orang tersebut berbicara panjang lebar. Sesungguhnya dan sebenarnya, dia sudah lebih mengetahui cerita yang diungkapkan oleh orang tersebut. Sejujurnya dan sebenarnya pula,  dia mempunyai pendapat  tersendiri  yang berbeda cara pandang dengan orang itu. Akan tetapi, ia memilih pura-pura tidak tahu dan bersikap antusias terhadap apa yang dibicarakan orang tersebut. Sehingga, orang tersebut mungkin akan berfikir ‘Senangnya bisa berbagi ilmu kepada orang lain.
Bayangkan jika sahabat saya berkata, “ Ya, sudah tahu! “  atau mungkin , “Bukan gitu da  yang saya tahu mah,  salah itu!”  Bagaimana perasaan orang tersebut.?
Secara tidak langsung,  ketika kita merasa menjadi sebuah gelas yang berisi. Kita akan menjadi congkak, merasa benar dengan apa yang telah kita pahami sebelumnya, sehingga kita kurang simpatik, kurang bisa menerima dengan apa yang diungkapkan oleh orang lain dan kurang memahami apa yang diinginkan orang lain. ( Apakah ketika saya menuliskan ini Anda telah berfikir seperti itu kepada saya? Merasakan bahwa saya telah sok tahu?  )
Akan tetapi, jika kita menjadi gelas kosong untuk sejenak. Kita akan mudah mendalami perasaan orang lain. Kita akan mudah berbaur dengannya, memahami karakternya,  membuat dirinya merasa dihargai, dan mengetahui bagaimana cara yang tepat dalam memberikan solusi/ pendapat padanya.

Bagaimana? Kedua perumpamaan tersebut sangat kontras bukan.

Ketika kita memilih gelas setengah isi, maka kita mempunyai semangat yang tinggi dalam meraih sesuatu. Kita menjadi seseorang yang tidak mudah putus asa dan berfikir maju ke depan. Memandang segala sesuatu mempunyai berbagai solusi.

Di sisi lain kita disuruh untuk menjadi gelas yang setengah isi,  dan dalam waktu bersamaan pula, kita di suruh untuk menjadi gelas kosong.
Pendapat Anda?

Apakah tetap ingin menjadi gelas setengah isi atau  mungkin menjadi gelas kosong?

Silahkan berfikir dan mulailah berbagi jawaban Anda.

Tidak ada komentar: