Sabtu, 31 Maret 2012

THE LOST Crystal and Cloning Genesis



Oleh: Ani Nh Fazia

Malam telah larut dalam bisu, membisikkan kengerian bagi jiwa-jiwa manusia yang mulai merinding dengan pesona keganasan. Aku yang sedari tadi terdiam kembali mengaduh pelan.
Kulihat Jack nampak begitu asyik dengan bola mainan hitamnya. Ia sama sekali tak peduli dengan keadaan sekitar. Aku mengernyit kesal pada lelaki pincang itu. Kutimpuki wajah tawanya dengan kerikil kecil yang menggunuk di tepi gua. Jack menyeringai kesal menatapku.
            “Hentikan! Apa maumu pengganggu?“
“Pulang, brengsek! Kau pikir aku suka tinggal di sini? ”
“Tidak bisa! Aku belum mendapat perintah dari Damian. Jika ia tahu aku melepaskanmu, habislah diriku ini di cincang kakakmu itu. “
“Persetan, aku mau pulang!”
Lelaki pincang itu menatapku ganas, ia mendekatiku dan berbisik pelan, “Diam di sini! Atau kau mau hewan-hewan yang berkeliaran di luar sana itu mengganggu dan memangsamu!
Ah, sial. Aku tertawa nyinyir mendengar Jack. Kusandarkan tubuhku pada batu besar di dalam gua yang pengap itu. Aku sendiri tak pernah paham dengan maksud Damian membiarkanku di sini bersama si pincang. Apa yang hendak dia rencanakan padaku. Apa karena aku perempuan lantas dia bertindak seenaknya padaku.
“Cepat, waktu kita tak banyak!” terdengar suara dari luar memecah keheningan.
Damian berlari masuk dan menarik tanganku.  
“Mau kemana kita. Apa yang kau rencanakan bersama si berengsek Jack itu?” kataku kesal. Damian tak menjawab, ia keburu mendekati Jack dan mengobrol dengannya. Kami berjalan sambil membisu. Tak ada yang Damian katakan lagi setelah itu. Jack pun hanya diam. Sementara aku sudah kehilangan selera untuk bertanya lebih lanjut. 
“Sebentar lagi kita akan temukan pembunuh itu!” Damian kembali berkata.
“Apa yang sebenarnya ada dalam otakmu itu Damian, kau selalu mengoceh tiba-tiba. Aku tak pernah mengerti maksudmu? ”
Damian berlari ke arahku, ia mengguncangkan tubuhku sambil tersenyum lebar, “Jane, sebentar lagi kebenaran itu akan terungkap. Kita akan segera mengetahui siapa yang berada di balik pembunuhan ayah.”
“Selalu masalah itu yang kau bahas pembual. Dengar, ayah kita meninggal karena kecelakaan. Tak ada siapa pun di balik itu!“
“Kita buktikan,” kata  Damian puas.
Kami terus berjalan menyisir semak-semak hijau di kaki bukit.  Syukurlah tak ada anjing atau hewan lain yang nampak berkeliaran. Jack menarik kaki pincangnya lebih cepat dariku. Kini ia yang nampak menggebu-gebu, rupanya omongan Damian telah masuk pula dan mencuci otak Jack.
“Kemana kita Damian?” Jack bertanya sembari terengah-engah. ”Sedari tadi kau tak menjelaskan tempat yang hendak kita tuju.”
“Sebentar lagi. Kita berhenti di depan.”
Aku mengernyit nanar. Berusaha menguasai keherananku. Tak ada apa pun di depan sana. Apa sebenarnya maksud Damian.
“Ini dia. Kita berhenti di sini.”
“Damian, hentikan omong kosong ini. Kau pikir aku ini tak waras apa? Tak ada apa pun di sini!”
“Sabarlah Jane. Sebentar lagi petualangan di mulai,“  jawab Damian senang.
“Oke. Siap!” Damian melanjutkan kata-katanya. Lelaki berwajah manis itu mengeluarkan kristal berwarna merah. Ia meletakkan benda itu di tengah.
 ”Percaya atau tidak. Ini adalah benda ajaib yang baru kudapatkan dengan susah payah,” kata Damian berapi-api.
Aku mendekati kristal itu pelan. Benda kecil itu nampak biasa saja. Apa khasiatnya?
            “SIAAAP!” Suara Damian menggelegar kencang memulai aba-abanya.
Seketika itu pula diriku terasa ringan. Kulihat gumpalan angin menyatu riuh pada titik kristal merah itu. Tubuhku diseret masuk ke dalam benda berukuran kecil itu. Aku tak dapat menguasai keseimbangan dalam tubuhku. Dan tiba-tiba saja, angin itu telah berhasil membawaku pada tempat lain. Ia memelantingkan diriku pada suatu tempat yang tak pernah kuduga sebelumnya.
            “Aku tak percaya ini,” pekikku kaget.
            ‘BUK! BrrrrrK…!’ Seluruh persendian tubuhku terasa ngilu. Bau sampah dari selokan terasa amat menyengat. Kami terhempas pada suatu tempat yang tak asing bagiku. Aku menarik nafas pelan berusaha menguasai diriku.
Damian berdiri, matanya berkeliling liar memandangi keadaan sekitarnya.            “Tempat apa ini?“ tanyanya pelan.
            “Hentikan, ini perbuatan konyol Damian. Dari mana kau dapatkan benda aneh itu? Ayo kita pulang!” pintaku mulai ketakutan.
            Damian mengernyit heran memandangku. Ia tak menjawab sama sekali.
            “Sudahlah, terserah kau saja,“ ucapku lagi.
            “Stt…!“ Damian menarik tubuhku, bersembunyi pada balik tembok yang menjorok ke dalam.  Jack ikut pula bersembunyi bersama kami.
Derap langkah seseorang terdengar mendekat ke arah kami. Aku berusaha mengintip langkah itu. Damian tergagap ketika sosok seorang gadis tertangkap oleh sepasang mata besarnya. Jack lebih keheranan lagi ketika melihat gadis itu. Sementara aku hanya tertunduk diam tanpa bisa berkata apa pun.
            “Itu dirimu kan, Jane? Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
            Tergagap aku menjawab, “Yyyy… a, itu aku!”
            Kami kembali melihat sosok gadis yang tidak lain adalah diriku. Gadis itu kemudian berlalu dan memasuki sebuah rumah tua di ujung jalan. Aku bersama Jack dan Damian mengikuti langkahnya. Kami berjalan dan menyelinap. Sungguh hal bodoh yang tidak kuduga sebelumnya. Aku mengikuti diriku sendiri.
            Damian kembali menganga ketika melihat sosok seorang lelaki tua telah berada di dalam rumah yang dimasuki gadis itu. Kami melihat lelaki tua itu tengah berada di tempat kumuh itu. Sebuah rumah kecil dengan cat-cat yang sudah mengelupas. Terlihat pula sebuah tali nampak melilit kencang pada kedua tangan rentanya. 
            Dengan jelas, aku menyaksikan diriku sendiri menyuntikkan cairan berwarna putih pada tubuh renta itu. Gadis itu benar-benar seperti iblis yang tak punya rasa, ia tertawa riang ketika sosok tua yang berada dihadapnnya terlihat kesakitan. Sial, kenapa aku harus melihat kejadian ini lagi!
            Jack menatapku sinis. Sementara Damian hampir saja berlari masuk dan hendak menggagalkan rencana gadis itu.
            Aku mencekal lengan Damian dan menutup mulutnya. “Diamlah Damian, kau hampir saja membuat rencanaku gagal!”
Jack pun nampak marah, serta merta dipukulkannya sebuah kayu panjang ke arahku. Dengan cekatan kuhindari pukulannya. Kubalikkan pukulan itu tepat pada kepalanya. Jack terlihat kesakitan, darah segar dari kepalanya mengalir kental. Lelaki pincang itu seketika ambruk dihadapan kami.
Damian mendorongku hingga terpelanting. “Jane, apa yang kau lakukan kepada ayah? “
Aku menelan ludah beberapa kali, tak hendak menjawab pertanyaannya. Ketakutan mulai menyergap tubuh dinginku. Tanpa berfikir lama, aku berlari bagai anjing yang kesetanan. Damian tak kuasa menahan amarahnya, dia berlari pula mengejarku.  Sampai akhirnya, Damian berhasil menyeret dan mencekik leherku. Lelaki itu tampak buas. Aku meringis kesakitan merasakan ajal hampir di ambang mata.
“Kenapa kau lakukan hal itu kepada ayah kita?” Damian kembali berteriak keras padaku.
“Akan ku…ka…ta..kan, Da…mia…an. Tapi, lepaskan dulu cekikanmu!”  pintaku mulai kehabisan nafas.
“Katakan sekarang?”
“Orang yang tadi kau lihat di sana adalah…,”  otakku tak dapat berfikir lagi.
“Jane, jangan membuatku kesal. Ayo bicara!”
“Oke. Akan kukatakan, orang yang kau lihat tadi memang ayah kita.” Aku tersenyum puas melihat wajah Damian yang nampak kebingungan. “Kau sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Waktumu untuk menyelamatkan ayah telah kau habiskan untuk mengejarku.”
Damian memandangku kesal, kini ia berlari meninggalkanku. Ia berteriak sembari memanggil-manggil nama ayah. Aku mengikuti Damian dari arah belakang.  Kami kembali menuju rumah tua itu.
“Ayah, dimana ayah?” teriak Damian sembari berlari ke sana kemari. Aku berjalan dengan amat hati-hati. Seingatku, setelah aku menyuntikkan cairan beracun itu, aku pergi sebentar ke luar. Dan tiba-tiba saja seseorang memukulku dari arah belakang. Setelah itu, aku tak dapat mengingat apa pun selain berita kematian ayah yang mengalami kecelakaan. Sebenarnya apa yang terjadi?
 “Jane, aku juga tak menemukan Jack, tak juga menemukan dirimu yang lain. Apa kau juga yang menghilangkan Jack ?“ teriaknya penuh emosi.
“Tenanglah Damian?”
“Bagaimana aku bisa tenang. Kau itu iblis! Sungguh mengerikan punya adik sepertimu.”
“Diamlah Damian, sepertinya ada yang tidak beres. Sudahlah tidak ada gunanya kita berdebat. Sekarang kita cari di mana mereka. “
“Kemana?”
“Tempat kecelakaan ayah?”
“Dengar, kalau terjadi apa-apa dengan ayah, aku tidak akan menganggapmu sebagai adikku. “
“Aku tak peduli!” sentakku kepada Damian. “Lelaki berengsek tua itu tak ada, Jack pun tak ada? Apa jangan - jangan yang mati  itu adalah…,”
“Jack maksudmu?” selidik Damian penuh tanya. Aku menatap wajah Damian sambil mengangkat kedua bahuku.
Damian berlari kembali, berteriak memanggil-manggil ayah dan Jack. Aku pun kembali mengikuti Damian dari arah belakang. Kami bergerak menuju tempat kecelakaan ayah. Kami  menyusuri jalan dengan tenang. Sungguh ada yang tak beres dengan semua ini, bagaimana bisa orang itu selamat setelah kusuntikan cairan beracun kepadanya. Lalu kenapa pula dia bisa meninggal di dalam mobil? Atau jangan-jangan bukan professor Anthoni yang mati? Mungkinkah professor Anthoni yang membawa kabur Jack dan membuat seolah-olah dirinya yang mati? Hahhh….,sulit kumengerti.
“Damian, kau tahu kan, setelah ayah meninggal Jack tiba-tiba saja menghilang.”
“Maksudmu, Jack yang membawa ayah masuk ke dalam jurang. Begitu?”
“Bukan itu Damian.” kataku kesal. Aku menghentikan langkahku dan berbalik melihat wajah Damian. “Bisa jadi, orang yang meninggal dalam kecelakaan bukan lelaki berengsek itu, tetapi Jack. Jack, Damian!”
“Jangan katakan ayah kita brengsek. Lagi pula bagaimana mungkin, Jack itu hanya menghilang seminggu, setelah itu dia kembali bersama-sama kita dan pergi ke tempat ini. Kau ini aneh.”
“Ya, kau benar Damian. Lalu?” aku mengerutkan keningku dan kembali berbicara, “Sudahlah jangan bahas dulu masalah ini. Ada hal lain yang lebih penting Damian. Dengarkan aku, professor Anthoni bukanlah ayah kandung kita. Dia hanyalah seorang lelaki tua yang tak lebih dari pembunuh berdarah dingin.”
“Jane!? Tutup mulutmu,” Damian mencengkram pipiku dengan kuat.
“Jangan berusaha menyakitiku lagi Damian, kau akan menyesal,“ geramku.
Awan biru semakin pekat dengan kebiruannya. Damian mengernyit kesal menatapku. Aku tak pedulikan  tingkahnya yang penuh emosi itu.
Kami kembali mencari keberadaan ayah. Tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat sebuah mobil tua sedang meluncur ke bawah jurang. Kedua bola mataku merekam dengan amat jelas siapa lelaki yang berada di dalam mobil itu. Itu Jack! Bagaimana bisa dia membawa mobil, sedangkan dirinya sendiri berada dalam kondisi tak sadar.
Kami terus memanggil Jack, berusaha mengejar dan menyelamatkan lelaki pincang itu.  Sayang, mobil itu terus melaju dengan kencang. Mobil tua berwarna hitam itu meluncur dengan kecepatan tinggi memasuki sebuah jurang.
Dan…”DUAAAR!! DUARRRR!!” Suara ledakan terdengar begitu keras meluluh lantahkan mobil tua itu. Aku berteriak histeris tak percaya dengan peristiwa yang baru saja kulihat.
Sial, professor Anthoni berhasil membunuh Jack dan membuat seolah yang meninggal itu adalah dirinya. Apa sebenarnya yang lelaki tua itu rencanakan?
“Semua ini gara-gara kau Damian. Kalau saja kau tak menghentikanku, lelaki itu pasti sudah mati dan tak membuat korban baru,” sentakku berapi-api.
Damian menunduk, ia merangkulku dengan lembut. “Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, Jane? Kenapa kau jadi seperti ini? Aku tak ingin ada salah paham lagi, kau itu adikku.”
“Kau mau tahu apa yang terjadi Damian?”  jawabku lemah.
“Ya,” jawab Damian sembari merangkul tubuhku.
“Lelaki yang selalu kita anggap ayah itu sebenarnya bukan ayah kandung kita. Ayah kita sudah meninggal. Dia hanyalah seorang lelaki yang tak lebih dari pecundang dan pembunuh. Kau pikir siapa yang telah membunuh ibu kita?” kataku sembari menangis. “Lelaki itu Damian?” lanjutku.
“Dan yang lebih menyakitkan lagi, lelaki itu pula dalang kematian ayah kita. Gara-gara dia kita tak tahu bagaimana wajah ayah kandung kita sendiri.”
“Tapi bagaimana bisa? Kau tahu dari mana?”
 “Aku mendengar semua itu dari percakapannya dengan ibu. Aku sudah teramat sering memata-matai ayah, Damian. Kau mau bukti? Bawa aku kembali ke dunia nyata!”
“Tidak! Kita selesaikan masalah ini di sini. Kalau benar apa yang kau bilang. Kita selidiki hal itu di sini.”
“Oke! Kalau itu maumu.”
Kami beristirahat sejenak di sana. Tempat ini memang benar-benar jauh dari mana pun. Sebuah tempat bernama curug Citambur yang kukira hanya segelintir orang saja yang tahu. Jalanan di sini benar-benar rusak total.  Jauh dari mana pun. Daerah ini berada di perbatasan antara Bandung dan Cianjur.
Sore itu, aku dan Damian menyusuri desa yang jalanannya terlihat sangat rusak dan sepi. Entah desa ini terjamah atau tidak. Aku sempat bertanya dalam diriku, ‘Tak adakah perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki jalanan ini, atau masyarakat sudah tidak ada lagi yang perduli dengan keadaan desanya?’
Lamunanku itu buyar seketika saat sebuah mobil truk melintas dihadapan kami. Serta merta kukejar truk itu. Aku dan Damian meminta izin untuk menaiki kendaraan itu. Untunglah pak supir mengizinkan kami untuk ikut di truknya. 
Satu hari berlalu, akhirnya kami berhasil menemukan sebuah laboratorium yang selalu dikunjungi ayah. Sebuah tempat yang letaknya tesembunyi dan jarang dijamah orang. Dulu aku sering menyelinap diam-diam ke tempat ini. Sampai akhirmya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa ayah membuat suatu senyawa kimia yang kemudian ia berikan pada ibu. Aku benar-benar tak berdaya saat itu. Hal yang paling mengherankan lagi ketika ayah mengambil sample darah dan rambut ibu.
Belakangan aku tahu, lelaki itu sedang membuat project B yang dinamainya dengan Cloning Genesis. Rupanya dia seorang Darwinis yang terobsesi pada pemahaman Darwin. Suatu faham mengenai teori evolusi yang belum dapat kumengerti sampai sekarang. Dia berusaha membuat kloning seorang bayi dari struktur DNA manusia dan kera. Entahlah, apa pembunuhan terhadap ayah dan ibu ada hubungannya dengan ini atau tidak. Aku hanya tahu bahwa dulu ayah kandungku bekerja di laboratorium ini bersama ayah tiriku itu.  
Kami memasuki ruangan demi ruangan dengan amat pelan. Laboratorium yang terletak di Ciwidey itu mempunyai beberapa ruangan yang luas. Salah satu ruangan itu berisi dengan berbagai macam spesies kera. Sementara di ruangan lain, kami menemukan cairan-cairan kimia yang berjejer dengan amat rapih. Tidak banyak orang yang menunggui kedua ruangan itu sehingga kami bisa leluasa menyelinap.
“Jane, bukankah itu ayah?” bisik Damian kepadaku.
Kami melihat lelaki itu tengah berada di ruang utama tempat pertemuan. Banyak orang dalam ruangan itu. Sepertinya ada rahasia besar yang sedang mereka rencanakan. Ahh, kami tak dapat mendengar pembicaraan mereka.
“Damian, kita masuk ke ruang sebelahnya !”
“ Ya.“ Damian mengangguk pelan.
Kami menunduk, kemudian segera berlari ke ruangan yang berada di samping ruang utama. Ruang itu adalah ruang kerja professor Anthoni. Kami mencari barang bukti apa pun yang bisa kami bawa.
            “ Klik!” kubuka file dalam komputer satu demi satu.
            Aku sempat terperanjat ketika menemukan file dengan nama ‘Project B- Clonimg Genesis.’ Ya, ini yang aku cari. Segera kumasukkan file itu pada sebuah plaskdisk yang kutemukan di sana. Setelah itu kuhapus semua file dengan menekan shift bersamaan dengan delate sehingga tak bisa ditemukan dalam recycle bin. Sekarang tinggal menemukan di mana bayi kloning itu berada.
            Damian menemukan berkas-berkas lain yang berhubungan dengan aktifitas para Darwinis itu. “Apa kita benar-benar akan melakukan ini pada ayah kita, Jane?“ tanya Damian tak yakin.
“Sudah kubilang, dia bukan ayah kita!”
“ Tapi?” Damian menghela nafas pendek.
‘KKKkrek!’ Dalam waktu yang bersamaan, pintu terbuka. Aku dan Damian terkesiap. Adrenalinku mulai berpacu kencang. Seseorang telah berdiri dihadapan kami.
“Ayah!” pekik Damian pelan.
“Kalian rupanya! Dari mana kalian tahu tempat ini? Penjaga, tangkap mereka!” teriak lelaki tua itu kepada kami.
Beberapa penjaga menyeret dan mencekal tanganku dan Damian. Aku berusaha melawan dan melepaskan tanganku dari mereka. Damian memukulkan sebuah gelas pada salah seorang penjaga yang mencekal tanganku.
“Lari Jane. Amankan benda itu, aku yang akan mengatasi semua ini.”
“ Tidak!”
“Cepat lari dan bawa ini,” ucapnya sembari memberikan kristal merah ke tanganku.
“Aku tak bisa menggunakannya, Damian.”
“Simpan benda ini di permukaan tanah, lalu pikirkanlah tempat yang akan kau tuju.”
“Kita pergi bersama, Damian.”
“Jane, sudahlah pergi sana! Aku tak bisa menahan mereka lebih lama lagi. Selamatkan dirimu kemudian kembali lagi ke tempat ini. Mengerti!”
“Ya, baiklah!” jawabku sembari berlari meninggalkan Damian. Aku berlari sekencang-kencangnya. Menyimpan kristal merah itu di permukaan tanah dan memikirkan sebuah bukit, tempat asal mula kami berada. Seketika itu pula angin besar meliuk dan menggumpal di tengah-tengah kristal. Tanpa berfikir panjang lagi, aku meloncat memasuki lingkaran merah itu. Dan dalam sekejap diriku telah berada tepat di kaki bukit itu. Tubuhku terasa sakit, aku tak dapat mengerakkan kaki dan tanganku.
Kuambil kristal merah itu dengan segera. “Jack, Damian, maafkan aku!”
Dengan sisa-sisa energi yang masih kumliki, aku segera bangkit. Aku harus segera menyerahkan file ini kepada polisi dan membongkar kejadian sebenarnya.
 Professor Anthoni, ayah tiriku masih hidup dan Jack lah yang dulu menginggal dalam mobil. “Damian, aku pasti akan menyelamatkanmu!”
Dari kejauhan kulihat samar-samar beberapa anjing berlari kearahku. Diantara anjing-anjing itu telah hadir pula beberapa orang yang menjadi pawangnya. Aku amat terkejut ketika melihat salah satu diantara mereka adalah ayah tiriku. Bagaiman bisa?
“ Tangkap gadis itu?” teriak ayah sambil menunjukku.  
Mataku terbelalak. Ada apa ini? Anjing-anjing buas itu dilepaskan begitu saja dan berlari dengan ganas ke arahku. Aku tak dapat berbuat apa-apa, kakiku keburu lemas. Aku berusaha menyeret kaki kiriku dan berlari dengan terseok-seok. Mereka semakin dekat mengejarku. Ada empat ekor anjing yang siap menerkamku.
 Salah satu dari anjing-anjing itu meloncat dan mencakar lengan kiriku. Aku terlempar jatuh. Anjing itu berhasil merobek dan mencakarku. Aku benar-benar terdesak. Sementara anjing-anjing lain ikut menggingitku. Darah segar mengalir di seluruh tubuhku. Sekuat tenaga kubanting hewan-hewan laknat itu.
“Akan kuhajar kalian!” gerutuku sembari mengambil sebatang kayu besar yang baru saja kutemukan. Mereka tak mau menyerah dan semakin mendesakku. Aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku mati rasa. Mataku sudah tak mampu lagi melihat dengan jelas. Sementara itu, kakiku tak dapat menahan lagi tubuhku yang semakin berat. Anjing-anjing itu menyerang dan menggelincirkanku ke sebuah jurang. Aku terhempas dan terpelanting tanpa bisa berbuat apa pun. Tubuhku berguling-guling. Aku tak dapat berkata apa pun. Dan  setelahnya,….gelap…

 Sengaja tidak semua cerita dibagikan. Tidak sampai ending .. dan belum direvisi ulang

Bandung, 28 Mei 2011

Cerpen di atas pernah saya ikutsertakan lomba,,namun belum berhasil,,dari pada mubadzir,,jadi saya pampang saja di sini. :)