Oleh: Ani Nh Fazia
Malam telah larut dalam
bisu, membisikkan kengerian bagi jiwa-jiwa manusia yang mulai merinding dengan
pesona keganasan. Aku yang sedari tadi terdiam kembali mengaduh pelan.
Kulihat Jack nampak
begitu asyik dengan bola mainan hitamnya. Ia sama sekali tak peduli dengan
keadaan sekitar. Aku mengernyit kesal pada lelaki pincang itu. Kutimpuki wajah
tawanya dengan kerikil kecil yang menggunuk di tepi gua. Jack menyeringai kesal
menatapku.
“Hentikan! Apa maumu pengganggu?“
“Pulang, brengsek! Kau
pikir aku suka tinggal di sini? ”
“Tidak
bisa! Aku belum mendapat perintah dari Damian. Jika ia tahu aku melepaskanmu,
habislah diriku ini di cincang kakakmu itu. “
“Persetan, aku mau
pulang!”
Lelaki pincang itu
menatapku ganas, ia mendekatiku dan berbisik pelan, “Diam di sini! Atau kau mau
hewan-hewan yang berkeliaran di luar sana itu mengganggu dan memangsamu!
Ah, sial.
Aku tertawa nyinyir mendengar Jack. Kusandarkan tubuhku pada batu besar di
dalam gua yang pengap itu. Aku sendiri tak pernah paham dengan maksud Damian membiarkanku
di sini bersama si pincang. Apa yang hendak dia rencanakan padaku. Apa karena
aku perempuan lantas dia bertindak seenaknya padaku.
“Cepat, waktu kita tak
banyak!” terdengar suara dari luar memecah keheningan.
Damian berlari masuk
dan menarik tanganku.
“Mau kemana kita. Apa
yang kau rencanakan bersama si berengsek Jack itu?” kataku kesal. Damian tak
menjawab, ia keburu mendekati Jack dan mengobrol dengannya. Kami berjalan
sambil membisu. Tak ada yang Damian katakan lagi setelah itu. Jack pun hanya
diam. Sementara aku sudah kehilangan selera untuk bertanya lebih lanjut.
“Sebentar lagi kita akan
temukan pembunuh itu!” Damian kembali berkata.
“Apa yang sebenarnya
ada dalam otakmu itu Damian, kau selalu mengoceh tiba-tiba. Aku tak pernah
mengerti maksudmu? ”
Damian berlari ke
arahku, ia mengguncangkan tubuhku sambil tersenyum lebar, “Jane, sebentar lagi
kebenaran itu akan terungkap. Kita akan segera mengetahui siapa yang berada di
balik pembunuhan ayah.”
“Selalu masalah itu
yang kau bahas pembual. Dengar, ayah kita meninggal karena kecelakaan. Tak ada
siapa pun di balik itu!“
“Kita buktikan,” kata Damian puas.
Kami terus berjalan
menyisir semak-semak hijau di kaki bukit.
Syukurlah tak ada anjing atau hewan lain yang nampak berkeliaran. Jack
menarik kaki pincangnya lebih cepat dariku. Kini ia yang nampak menggebu-gebu,
rupanya omongan Damian telah masuk pula dan mencuci otak Jack.
“Kemana kita Damian?” Jack
bertanya sembari terengah-engah. ”Sedari tadi kau tak menjelaskan tempat yang
hendak kita tuju.”
“Sebentar lagi. Kita
berhenti di depan.”
Aku mengernyit nanar.
Berusaha menguasai keherananku. Tak ada apa pun di depan sana. Apa sebenarnya
maksud Damian.
“Ini dia. Kita berhenti
di sini.”
“Damian, hentikan omong
kosong ini. Kau pikir aku ini tak waras apa? Tak ada apa pun di sini!”
“Sabarlah
Jane. Sebentar lagi petualangan di mulai,“ jawab Damian senang.
“Oke. Siap!” Damian
melanjutkan kata-katanya. Lelaki berwajah manis itu mengeluarkan kristal
berwarna merah. Ia meletakkan benda itu di tengah.
”Percaya atau tidak. Ini adalah benda ajaib
yang baru kudapatkan dengan susah payah,” kata Damian berapi-api.
Aku mendekati kristal
itu pelan. Benda kecil itu nampak biasa saja. Apa khasiatnya?
“SIAAAP!”
Suara Damian menggelegar kencang memulai aba-abanya.
Seketika itu pula
diriku terasa ringan. Kulihat gumpalan angin menyatu riuh pada titik kristal
merah itu. Tubuhku diseret masuk ke dalam benda berukuran kecil itu. Aku tak
dapat menguasai keseimbangan dalam tubuhku. Dan tiba-tiba saja, angin itu telah
berhasil membawaku pada tempat lain. Ia memelantingkan diriku pada suatu tempat
yang tak pernah kuduga sebelumnya.
“Aku
tak percaya ini,” pekikku kaget.
‘BUK! BrrrrrK…!’ Seluruh persendian
tubuhku terasa ngilu. Bau sampah dari selokan terasa amat menyengat. Kami
terhempas pada suatu tempat yang tak asing bagiku. Aku menarik nafas pelan
berusaha menguasai diriku.
Damian
berdiri, matanya berkeliling liar memandangi keadaan sekitarnya. “Tempat apa ini?“ tanyanya pelan.
“Hentikan,
ini perbuatan konyol Damian. Dari mana kau dapatkan benda aneh itu? Ayo kita
pulang!” pintaku mulai ketakutan.
Damian
mengernyit heran memandangku. Ia tak menjawab sama sekali.
“Sudahlah,
terserah kau saja,“ ucapku lagi.
“Stt…!“ Damian menarik tubuhku, bersembunyi
pada balik tembok yang menjorok ke dalam.
Jack ikut pula bersembunyi bersama kami.
Derap langkah seseorang
terdengar mendekat ke arah kami. Aku berusaha mengintip langkah itu. Damian
tergagap ketika sosok seorang gadis tertangkap oleh sepasang mata besarnya.
Jack lebih keheranan lagi ketika melihat gadis itu. Sementara aku hanya
tertunduk diam tanpa bisa berkata apa pun.
“Itu
dirimu kan, Jane? Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
Tergagap
aku menjawab, “Yyyy… a, itu aku!”
Kami
kembali melihat sosok gadis yang tidak lain adalah diriku. Gadis itu kemudian
berlalu dan memasuki sebuah rumah tua di ujung jalan. Aku bersama Jack dan Damian
mengikuti langkahnya. Kami berjalan dan menyelinap. Sungguh hal bodoh yang tidak
kuduga sebelumnya. Aku mengikuti diriku sendiri.
Damian
kembali menganga ketika melihat sosok seorang lelaki tua telah berada di dalam
rumah yang dimasuki gadis itu. Kami melihat lelaki tua itu tengah berada di
tempat kumuh itu. Sebuah rumah kecil dengan cat-cat yang sudah mengelupas. Terlihat
pula sebuah tali nampak melilit kencang pada kedua tangan rentanya.
Dengan
jelas, aku menyaksikan diriku sendiri menyuntikkan cairan berwarna putih pada
tubuh renta itu. Gadis itu benar-benar seperti iblis yang tak punya rasa, ia
tertawa riang ketika sosok tua yang berada dihadapnnya terlihat kesakitan.
Sial, kenapa aku harus melihat kejadian ini lagi!
Jack
menatapku sinis. Sementara Damian hampir saja berlari masuk dan hendak
menggagalkan rencana gadis itu.
Aku
mencekal lengan Damian dan menutup mulutnya. “Diamlah Damian, kau hampir saja
membuat rencanaku gagal!”
Jack pun nampak marah,
serta merta dipukulkannya sebuah kayu panjang ke arahku. Dengan cekatan kuhindari
pukulannya. Kubalikkan pukulan itu tepat pada kepalanya. Jack terlihat kesakitan,
darah segar dari kepalanya mengalir kental. Lelaki pincang itu seketika ambruk
dihadapan kami.
Damian mendorongku
hingga terpelanting. “Jane, apa yang kau lakukan kepada ayah? “
Aku menelan ludah
beberapa kali, tak hendak menjawab pertanyaannya. Ketakutan mulai menyergap
tubuh dinginku. Tanpa berfikir lama, aku berlari bagai anjing yang kesetanan. Damian
tak kuasa menahan amarahnya, dia berlari pula mengejarku. Sampai akhirnya, Damian berhasil menyeret dan
mencekik leherku. Lelaki itu tampak buas. Aku meringis kesakitan merasakan ajal
hampir di ambang mata.
“Kenapa kau lakukan hal
itu kepada ayah kita?” Damian kembali berteriak keras padaku.
“Akan ku…ka…ta..kan, Da…mia…an.
Tapi, lepaskan dulu cekikanmu!” pintaku
mulai kehabisan nafas.
“Katakan sekarang?”
“Orang yang tadi kau
lihat di sana adalah…,” otakku tak dapat
berfikir lagi.
“Jane, jangan membuatku
kesal. Ayo bicara!”
“Oke. Akan kukatakan,
orang yang kau lihat tadi memang ayah kita.” Aku tersenyum puas melihat wajah Damian
yang nampak kebingungan. “Kau sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Waktumu untuk
menyelamatkan ayah telah kau habiskan untuk mengejarku.”
Damian memandangku
kesal, kini ia berlari meninggalkanku. Ia berteriak sembari memanggil-manggil
nama ayah. Aku mengikuti Damian dari arah belakang. Kami kembali menuju rumah tua itu.
“Ayah, dimana ayah?”
teriak Damian sembari berlari ke sana kemari. Aku berjalan dengan amat
hati-hati. Seingatku, setelah aku menyuntikkan cairan beracun itu, aku pergi
sebentar ke luar. Dan tiba-tiba saja seseorang memukulku dari arah belakang. Setelah
itu, aku tak dapat mengingat apa pun selain berita kematian ayah yang mengalami
kecelakaan. Sebenarnya apa yang terjadi?
“Jane, aku juga tak menemukan Jack, tak juga
menemukan dirimu yang lain. Apa kau juga yang menghilangkan Jack ?“ teriaknya
penuh emosi.
“Tenanglah Damian?”
“Bagaimana aku bisa
tenang. Kau itu iblis! Sungguh mengerikan punya adik sepertimu.”
“Diamlah Damian,
sepertinya ada yang tidak beres. Sudahlah tidak ada gunanya kita berdebat. Sekarang
kita cari di mana mereka. “
“Kemana?”
“Tempat kecelakaan
ayah?”
“Dengar, kalau terjadi
apa-apa dengan ayah, aku tidak akan menganggapmu sebagai adikku. “
“Aku tak peduli!”
sentakku kepada Damian. “Lelaki berengsek tua itu tak ada, Jack pun tak ada? Apa
jangan - jangan yang mati itu adalah…,”
“Jack maksudmu?”
selidik Damian penuh tanya. Aku menatap wajah Damian sambil mengangkat kedua
bahuku.
Damian berlari kembali,
berteriak memanggil-manggil ayah dan Jack. Aku pun kembali mengikuti Damian
dari arah belakang. Kami bergerak menuju tempat kecelakaan ayah. Kami menyusuri jalan dengan tenang. Sungguh ada
yang tak beres dengan semua ini, bagaimana bisa orang itu selamat setelah
kusuntikan cairan beracun kepadanya. Lalu kenapa pula dia bisa meninggal di
dalam mobil? Atau jangan-jangan bukan professor Anthoni yang mati? Mungkinkah
professor Anthoni yang membawa kabur Jack dan membuat seolah-olah dirinya yang
mati? Hahhh….,sulit kumengerti.
“Damian, kau tahu kan,
setelah ayah meninggal Jack tiba-tiba saja menghilang.”
“Maksudmu, Jack yang
membawa ayah masuk ke dalam jurang. Begitu?”
“Bukan itu Damian.” kataku
kesal. Aku menghentikan langkahku dan berbalik melihat wajah Damian. “Bisa
jadi, orang yang meninggal dalam kecelakaan bukan lelaki berengsek itu, tetapi
Jack. Jack, Damian!”
“Jangan katakan ayah
kita brengsek. Lagi pula bagaimana mungkin, Jack itu hanya menghilang seminggu,
setelah itu dia kembali bersama-sama kita dan pergi ke tempat ini. Kau ini
aneh.”
“Ya, kau benar Damian. Lalu?”
aku mengerutkan keningku dan kembali berbicara, “Sudahlah jangan bahas dulu masalah
ini. Ada hal lain yang lebih penting Damian. Dengarkan aku, professor Anthoni
bukanlah ayah kandung kita. Dia hanyalah seorang lelaki tua yang tak lebih dari
pembunuh berdarah dingin.”
“Jane!? Tutup mulutmu,”
Damian mencengkram pipiku dengan kuat.
“Jangan berusaha menyakitiku
lagi Damian, kau akan menyesal,“ geramku.
Awan biru semakin pekat
dengan kebiruannya. Damian mengernyit kesal menatapku. Aku tak pedulikan tingkahnya yang penuh emosi itu.
Kami kembali mencari
keberadaan ayah. Tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat sebuah mobil tua sedang
meluncur ke bawah jurang. Kedua bola mataku merekam dengan amat jelas siapa
lelaki yang berada di dalam mobil itu. Itu Jack! Bagaimana bisa dia membawa
mobil, sedangkan dirinya sendiri berada dalam kondisi tak sadar.
Kami terus memanggil
Jack, berusaha mengejar dan menyelamatkan lelaki pincang itu. Sayang, mobil itu terus melaju dengan kencang.
Mobil tua berwarna hitam itu meluncur dengan kecepatan tinggi memasuki sebuah
jurang.
Dan…”DUAAAR!! DUARRRR!!” Suara ledakan
terdengar begitu keras meluluh lantahkan mobil tua itu. Aku berteriak histeris
tak percaya dengan peristiwa yang baru saja kulihat.
Sial, professor Anthoni
berhasil membunuh Jack dan membuat seolah yang meninggal itu adalah dirinya. Apa
sebenarnya yang lelaki tua itu rencanakan?
“Semua ini gara-gara
kau Damian. Kalau saja kau tak menghentikanku, lelaki itu pasti sudah mati dan
tak membuat korban baru,” sentakku berapi-api.
Damian menunduk, ia
merangkulku dengan lembut. “Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, Jane? Kenapa
kau jadi seperti ini? Aku tak ingin ada salah paham lagi, kau itu adikku.”
“Kau mau tahu apa yang
terjadi Damian?” jawabku lemah.
“Ya,” jawab Damian
sembari merangkul tubuhku.
“Lelaki yang selalu
kita anggap ayah itu sebenarnya bukan ayah kandung kita. Ayah kita sudah
meninggal. Dia hanyalah seorang lelaki yang tak lebih dari pecundang dan
pembunuh. Kau pikir siapa yang telah membunuh ibu kita?” kataku sembari
menangis. “Lelaki itu Damian?” lanjutku.
“Dan yang lebih menyakitkan
lagi, lelaki itu pula dalang kematian ayah kita. Gara-gara dia kita tak tahu
bagaimana wajah ayah kandung kita sendiri.”
“Tapi bagaimana bisa?
Kau tahu dari mana?”
“Aku mendengar semua itu dari percakapannya
dengan ibu. Aku sudah teramat sering memata-matai ayah, Damian. Kau mau bukti? Bawa
aku kembali ke dunia nyata!”
“Tidak! Kita selesaikan
masalah ini di sini. Kalau benar apa yang kau bilang. Kita selidiki hal itu di
sini.”
“Oke! Kalau itu maumu.”
Kami beristirahat
sejenak di sana. Tempat ini memang benar-benar jauh dari mana pun. Sebuah
tempat bernama curug Citambur yang kukira hanya segelintir orang saja yang tahu.
Jalanan di sini benar-benar rusak total.
Jauh dari mana pun. Daerah ini berada di perbatasan antara Bandung dan Cianjur.
Sore itu, aku dan Damian
menyusuri desa yang jalanannya terlihat sangat rusak dan sepi. Entah desa ini
terjamah atau tidak. Aku sempat bertanya dalam diriku, ‘Tak adakah perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki jalanan ini,
atau masyarakat sudah tidak ada lagi yang perduli dengan keadaan desanya?’
Lamunanku itu buyar
seketika saat sebuah mobil truk melintas dihadapan kami. Serta merta kukejar
truk itu. Aku dan Damian meminta izin untuk menaiki kendaraan itu. Untunglah pak
supir mengizinkan kami untuk ikut di truknya.
Satu hari berlalu,
akhirnya kami berhasil menemukan sebuah laboratorium yang selalu dikunjungi
ayah. Sebuah tempat yang letaknya tesembunyi dan jarang dijamah orang. Dulu aku
sering menyelinap diam-diam ke tempat ini. Sampai akhirmya aku melihat dengan
mata kepalaku sendiri bahwa ayah membuat suatu senyawa kimia yang kemudian ia
berikan pada ibu. Aku benar-benar tak berdaya saat itu. Hal yang paling
mengherankan lagi ketika ayah mengambil sample darah dan rambut ibu.
Belakangan aku tahu,
lelaki itu sedang membuat project B
yang dinamainya dengan Cloning Genesis.
Rupanya dia seorang Darwinis yang terobsesi pada pemahaman Darwin. Suatu faham
mengenai teori evolusi yang belum dapat kumengerti sampai sekarang. Dia
berusaha membuat kloning seorang bayi dari struktur DNA manusia dan kera.
Entahlah, apa pembunuhan terhadap ayah dan ibu ada hubungannya dengan ini atau tidak.
Aku hanya tahu bahwa dulu ayah kandungku bekerja di laboratorium ini bersama
ayah tiriku itu.
Kami memasuki ruangan
demi ruangan dengan amat pelan. Laboratorium yang terletak di Ciwidey itu
mempunyai beberapa ruangan yang luas. Salah satu ruangan itu berisi dengan
berbagai macam spesies kera. Sementara di ruangan lain, kami menemukan
cairan-cairan kimia yang berjejer dengan amat rapih. Tidak banyak orang yang menunggui
kedua ruangan itu sehingga kami bisa leluasa menyelinap.
“Jane, bukankah itu
ayah?” bisik Damian kepadaku.
Kami melihat lelaki itu
tengah berada di ruang utama tempat pertemuan. Banyak orang dalam ruangan itu.
Sepertinya ada rahasia besar yang sedang mereka rencanakan. Ahh, kami tak dapat mendengar pembicaraan
mereka.
“Damian, kita masuk ke
ruang sebelahnya !”
“ Ya.“ Damian
mengangguk pelan.
Kami menunduk, kemudian
segera berlari ke ruangan yang berada di samping ruang utama. Ruang itu adalah
ruang kerja professor Anthoni. Kami mencari barang bukti apa pun yang bisa kami
bawa.
“
Klik!” kubuka file dalam komputer satu demi satu.
Aku
sempat terperanjat ketika menemukan file dengan nama ‘Project B- Clonimg Genesis.’ Ya, ini yang aku cari. Segera
kumasukkan file itu pada sebuah plaskdisk yang kutemukan di sana. Setelah itu kuhapus
semua file dengan menekan shift bersamaan dengan delate sehingga tak bisa ditemukan
dalam recycle bin. Sekarang tinggal menemukan di mana bayi kloning itu berada.
Damian
menemukan berkas-berkas lain yang berhubungan dengan aktifitas para Darwinis
itu. “Apa kita benar-benar akan melakukan ini pada ayah kita, Jane?“ tanya Damian
tak yakin.
“Sudah kubilang, dia
bukan ayah kita!”
“ Tapi?” Damian
menghela nafas pendek.
‘KKKkrek!’
Dalam
waktu yang bersamaan, pintu terbuka. Aku dan Damian terkesiap. Adrenalinku
mulai berpacu kencang. Seseorang telah berdiri dihadapan kami.
“Ayah!” pekik Damian
pelan.
“Kalian rupanya! Dari
mana kalian tahu tempat ini? Penjaga, tangkap mereka!” teriak lelaki tua itu
kepada kami.
Beberapa penjaga
menyeret dan mencekal tanganku dan Damian. Aku berusaha melawan dan melepaskan
tanganku dari mereka. Damian memukulkan sebuah gelas pada salah seorang penjaga
yang mencekal tanganku.
“Lari Jane. Amankan
benda itu, aku yang akan mengatasi semua ini.”
“ Tidak!”
“Cepat lari dan bawa
ini,” ucapnya sembari memberikan kristal merah ke tanganku.
“Aku tak bisa menggunakannya,
Damian.”
“Simpan benda ini di permukaan
tanah, lalu pikirkanlah tempat yang akan kau tuju.”
“Kita pergi bersama, Damian.”
“Jane, sudahlah pergi
sana! Aku tak bisa menahan mereka lebih lama lagi. Selamatkan dirimu kemudian
kembali lagi ke tempat ini. Mengerti!”
“Ya, baiklah!” jawabku
sembari berlari meninggalkan Damian. Aku berlari sekencang-kencangnya.
Menyimpan kristal merah itu di permukaan tanah dan memikirkan sebuah bukit,
tempat asal mula kami berada. Seketika itu pula angin besar meliuk dan
menggumpal di tengah-tengah kristal. Tanpa berfikir panjang lagi, aku meloncat
memasuki lingkaran merah itu. Dan dalam sekejap diriku telah berada tepat di kaki
bukit itu. Tubuhku terasa sakit, aku tak dapat mengerakkan kaki dan tanganku.
Kuambil kristal merah
itu dengan segera. “Jack, Damian, maafkan
aku!”
Dengan sisa-sisa energi
yang masih kumliki, aku segera bangkit. Aku harus segera menyerahkan file ini
kepada polisi dan membongkar kejadian sebenarnya.
Professor Anthoni, ayah tiriku masih hidup dan
Jack lah yang dulu menginggal dalam mobil. “Damian,
aku pasti akan menyelamatkanmu!”
Dari kejauhan kulihat
samar-samar beberapa anjing berlari kearahku. Diantara anjing-anjing itu telah
hadir pula beberapa orang yang menjadi pawangnya. Aku amat terkejut ketika melihat
salah satu diantara mereka adalah ayah tiriku. Bagaiman bisa?
“ Tangkap gadis itu?”
teriak ayah sambil menunjukku.
Mataku terbelalak. Ada
apa ini? Anjing-anjing buas itu dilepaskan begitu saja dan berlari dengan ganas
ke arahku. Aku tak dapat berbuat apa-apa, kakiku keburu lemas. Aku berusaha
menyeret kaki kiriku dan berlari dengan terseok-seok. Mereka semakin dekat
mengejarku. Ada empat ekor anjing yang siap menerkamku.
Salah satu dari anjing-anjing itu meloncat dan
mencakar lengan kiriku. Aku terlempar jatuh. Anjing itu berhasil merobek dan
mencakarku. Aku benar-benar terdesak. Sementara anjing-anjing lain ikut
menggingitku. Darah segar mengalir di seluruh tubuhku. Sekuat tenaga kubanting
hewan-hewan laknat itu.
“Akan kuhajar kalian!” gerutuku
sembari mengambil sebatang kayu besar yang baru saja kutemukan. Mereka tak mau menyerah
dan semakin mendesakku. Aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku mati rasa. Mataku
sudah tak mampu lagi melihat dengan jelas. Sementara itu, kakiku tak dapat
menahan lagi tubuhku yang semakin berat. Anjing-anjing itu menyerang dan menggelincirkanku
ke sebuah jurang. Aku terhempas dan terpelanting tanpa bisa berbuat apa pun.
Tubuhku berguling-guling. Aku tak dapat berkata apa pun. Dan setelahnya,….gelap…
Sengaja tidak semua cerita dibagikan. Tidak sampai ending .. dan belum direvisi ulang
Bandung, 28 Mei 2011
Cerpen di atas pernah saya ikutsertakan lomba,,namun belum berhasil,,dari pada mubadzir,,jadi saya pampang saja di sini. :)