Kamis, 20 Maret 2014

Belahan Otak

 Oleh : Ani Nh Fazia
20 Maret 2014 pukul 20:46

Dalam rumus matematika satu ditambah satu selalu menghasilkan dua. Empat dikali empat. Otak akan langsung merespon dengan angka enam belas. Sehingga, matematika selalu dikaitkan dengan logika. Pasti dan tetap.

Dalam rumus lain, misalnya pelajaran bahasa Indonesia. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengharuskan kita untuk menjawab dengan jawaban sama. Bisa jadi jawaban sama malah akan disalahkan oleh guru bahasa Indonesia. Dibutuhkan kemampuan mengarang dan wawasan luas dalam membuat suatu kalimat utuh.

Dikaitkan dengan kemampuan otak. Beberapa ahli mengatakan bahwa otak manusia terbagi menjadi dua, otak kanan dan kiri. Dalam seminar lain, disebutkan bahwa otak manusia terbagi menjadi tiga bagian, kanan, kiri, tengah. Bagian-bagian tersebut memiliki kecenderungan fungsi yang berbeda. Kanan untuk kreativitas, kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh. Kiri memiliki kecenderungan untuk lebih menggunakan logika, rasio, dan analis. Kanan lebih pada rasa/ diambang bawah sadar. Bagian tengah merupakan perpaduan diantara kedua belahan otak, dia mampu merasakan sesuatu, misalnya : tahu letak piring/ garpu sekali pun dengan mata tertutup.


Anehnya, dalam penelitian yang dilakukan University of Utah menyebutkan bahwa, keyakinan tentang kemampuan dominan otak hanya mitos belaka.  Setelah dilakukan beberapa penelitian pada 1.000 lebih sampel otak, nyatanya orang-orang tersebut tidak ada yang dominan menggunakan salah satu bagian otak.  Semua berjalan saling berhubungan/ seimbang yang melibatkan kemampuan dari otak kanan dan kiri. Ada pun seseorang yang dalam satu waktu lebih menggunakan bagian otak tertentu, itu untuk menjalankan fungsi khusus yang disebut lateralisasi. Tapi bukan berarti kecenderungan pada salah satunya.

Entahlah yang mana yang benar. Anggap saja penelitian di atas  mempunyai kekuatan yang sama. Hanya saja saya ingin memfokuskan pada kemampuan masing-masing otak.

Jika dikaitkan dengan Impian. Seseorang yang mengandalkan logikanya/otak bagian kiri akan berfikir berulang kali jika impiannya tidak masuk akal. Sehingga banyak ketidakmungkinan yang akan bersarang dalam pikirannya. Saat kemampuan intuitifnya muncul atau otak kanan merespon, maka ketidakmungkinan tersebut akan dibabat habis. Sehingga yang muncul adalah plan-plan yang teramat memotivasi dalam meraih impiannya tersebut. Maka ketidakmungkinan akan berubah menjadi “bisa” dalam kamus hariannya.

Kembali ke soal matematika dan bahasa Indonesia. Jika kita kaitkan dengan sedekah yang dikeluarkan. Matematika seolah menjadi tumpul. Karena satu ditambah dengan satu bisa jadi berpuluh-puluh atau beratas kali lipat. Angka ini bisa dianalogikan dengan pahala yang didapat. Dan Subhanallahnya lagi, angka ini bukan saja dianalogikan pahala. Di lain kesempatan, angka ini benar-benar menjadi angka nominal dalam bentuk materi yang berkali lipat.

Berlanjut pada cinta. Bagaimana otak kanan dan kiri berbicara cinta?

Pada saat otak manusia berpikir tentang cinta. Maka logika dan intuitif  perlu dimunculkan secara bersamaan. Otak kiri dan kanan harus seiring. Cinta tanpa dasar logika akan buta, sedang cinta tanpa rasa, tanpa intuisi menjadi hambar tanpa tujuan.

Dasarnya cinta ini adalah baik. Dalam penggunaannya cinta ini akan sesuai pada jalurnya atau bisa jadi lari dari makna sebenarnya.

Seseorang yang bermabuk-mabukan mengatakan cinta terhadap alkohol. Seseorang yang mencari dan menumpuk harta tanpa spiritualitas menjadikannya cinta materi. Seorang istri/ suami yang selingkuh/tidak menjaga kehormatannya dan berpaling dari suami/ istri sahnya mungkin disebut cinta juga. Seseorang yang mati-matian mengagungkan sosok yang dikaguminya bisa jadi adalah cinta. Seseorang yang rela memberikan kehormatan dirinya tanpa pernikahan terhadap lawan jenisnya bisa jadi disebut cinta. Seseorang yang rela meninggalkan agamanya karena menginginkan kebahagiaan dirinya bisa jadi cinta juga. Seseorang yang tidak shalat karena sibuk bekerja disebut cinta kerja.

Pertanyaannya, cinta seperti itukah yang dicari? Cinta seperti itukah yang diinginkan? Cinta seperti itukah yang kita tukar dengan aqidah diri? Menjadikan tandingan-tandinganNya sebagai cinta yang kita pahami.

Ketika sesuatu lebih dicintai dariNYA, maka sesungguhnya ia telah kehilangan makna cinta itu sendiri. Pada saat rasa kehilangan “makna” masih juga tidak dirasakan, masih tidak peka dengan makna hakiki cinta, maka perlahan tapi pasti. Cinta yang bersumber dariNYA, cinta yang ditanam olehNYA, cinta yang benar-benar murni dariNYa perlahan akan tertutup, sehingga redup yang tersisa. Maka cukup, cinta seperti itulah yang ia yakini. Dan Allah akan hantarkan dirinya dengan orang-orang yang mempunyai pemahaman cinta yang sama. Entah itu salah atau benar dalam pandangan dirinya.

Walahu’alam bi shawab.

                                                                                                                                 by. Ani Nh Fazia
                                                                                         Kamis, 20 Maret 2014