Terbit
di Majalah Pena edisi 445 2014 hal 30-32
Sesuatu
di Musik
oleh Ani Nh Fazia
“Disana
ada suara-suara aneh!”teriaknya pada suatu hari.
Guru-guru yang lain ikut menimpali tidak
kalah seru. Aku sendiri bersikap acuh, tak peduli.
“Kelas musik itu memang
rada angker. Kadang-kadang bukan suara piano saja yang bunyi. Apa pun yang
berbau musik pasti akan terdengar!“seru Bu Sally berapi-api.
Awalnya aku sendiri
heran, kenapa kabel-kabel selalu dicabut. Kenapa pula puzzle-puzzle tidak dibiarkan ditempatnya. Tapi dilepas dan
dipisahkan. Ternyata hal itu memang sengaja dilakukan, untuk menghindari bunyi.
Suara dari puzzle yang kalau dicabut,
kemudian dipasangkan kembali akan menghasilkan lagu.
“Jangan ketakutan
seperti itu, paling itu halusinasimu saja, Bu,” kataku menenangkan.
“Lha, aku ndak parno. Yang lain sudah tahu, kamu sendiri saja yang
ketinggalan zaman.”
“Kenapa jadi bawa-bawa jaman?
“
“Kalau ketinggalan
berita, itu sudah ndak aneh,”jawabnya
sambil memanyunkan bibir.
Aku melongo takjub,
sambil manggut-manggut setuju. Yang lain tertawa saja mendengar kata-kata yang
dilontarkan bu Sally padaku. Tidak protes atau membela.
Esoknya, ketika aku
datang ke sekolah. Perbicangan tentang keangkeran kelas musik makin santer
merebak.
Sekarang bukan saja
guru-guru, anak-anak ikut bergosip ala detektif. Sebetulnya, tidak tahu juga
sih, detektif itu kalau bergosip seperti apa. Tapi perbincangan mereka
benar-benar serius. Ini jelas tidak
dapat dibiarkan. Harus segera ditindak lanjuti agar tidak
kebablasan.
Gawatnya, pasien
halusinasi semakin bertambah. Bukan hanya ibu Sally, tapi ada ibu Imas, ibu
Asih, dan Ibu Dora. Tentu saja, ini menambah kerjaan baru bagiku. Satu saja
sudah sulit, apalagi ditambah beberapa pasien. Bisa-bisa aku yang malah ikutan
gila seperti mereka.
“Bu Leti, berita ini
benar-benar kenyataan“ ujar Bu Asih, sesama rekan kerjaku.
“Kenapa beritanya baru
terdengar sekarang-sekarang, tidak dari dulu?”tanyaku tidak puas.
“Stt…“bu Asih mendekatkan
mulutnya ditelingaku. “Mungkin datangnya baru-baru sekarang Bu. Sepertinya
ruang musik adalah ruangan yang dianggap cocok dan pas sebagai rumah barunya.”
Hiyyy, bulu kudukku
langsung merinding seketika. Hampir saja aku terhanyut oleh kata-katanya,
membujukku untuk percaya dan takut.
Mulutku komat-kamit mulai bersuara, berdehem beberapa kali.
Perasaan empati
tiba-tiba menjalari tubuhku. “Bu Asih, yang sabar ya. Saya berdo’a semoga Ibu
tidak mendengar suara-suara aneh lagi. Percayalah, itu hanya sementara. Dunia
kita sudah berbeda dengan mereka. Semoga Ibu cepat sembuh dari
perasaan-perasaan takut.”
Mendengarku berkata
seperti itu, bu Asih melengos kesal. Mulutnya ditekuk, tidak tertawa, tidak
pula tersenyum. Dan esoknya, semua guru memusuhiku. Alasannya sepele. Aku
dianggap makhluk aneh yang
tertinggal zaman. Tidak ada yang mengajakku bicara, tidak
ada yang menegur sapa. Semua guru hanya bicara kalau ditanya. Persis
seperti robot. Aku menjadi orang terkucil.
Malamnya,
pikiran-pikiran aneh mulai berseliweran dikepalaku. Bagaimana kalau mereka
benar dan aku salah.
“Ahh, kenapa gara-gara
tidak percaya masalah jadi rumit seperti ini?“Aku tertawa geli. Semoga hari ini
saja mereka berlaku seperti itu.
Masih terlalu pagi
ketika mereka semua benar-benar mendiamkanku. Aku teramat bimbang, Bukan sehari
atau dua hari. Lebih. Setelah kuhitung-hitung jari, ini adalah hari ketujuh.
Kuacungkan jempol, mereka kuat sekali memegang prinsip mendiamkanku. Sudah
seperti memegang kepercayaan saja rupanya.
Demi membela
kehormatanku, maka kuputuskan datang lebih awal ke sekolah. Sepertinya aku
mulai terbawa tidak waras. Tapi biarlah, demi harga diriku.
Hari masih terlihat
remang, saat aku menggedor-gedor gerbang sekolah. Nekat minta dibukakan pintu.
Tidak ada siapa-siapa. Terpaksa kudiamkan diriku mematung di depan gerbang.
Satu jam berlalu saat satpam datang.
“Pagi sekali sudah
datang, Bu?” sapa Tejo padaku yang malas tersenyum.
“Ah, tidak, saya juga
baru datang…”jawabku menahan malu. Untung Tejo tidak banyak bertanya, aku
merunduk dan segera pergi. Tak berkata apa-apa.
Aku mulai mempercepat
langkahku, mengamati pintu ruang musik. Mendekatkan daun telingaku. Tak ada
suara di sana.
“Yang kulakukan ini
benar tidak ya?” kataku mulai marah-marah sendiri. Memegangi kepalaku yang
tidak panas.
‘Cekrek ,,,!’Pintu
berhasil kubuka.
‘Kreeeettt..’sekarang
giliran kuseret keluar gagang pintu ruangan.
Mataku mulai memandangi
ruangan, memicingkan mata seperti kucing. Kabel-kabel yang tercerabuti sengaja kupasang. Puzzle-puzzle musik yang dilepas,
kuambil dan kuletakkan kembali sesuai pasangnnya. Dan segala macam benda yang
akan menimbulkan bunyi segera kunyalakan. Lama, benda-benda ini bukannya
berbunyi malah membuatku jenuh menunggu. Apa aku hentikan saja rencana gila
ini.
Pegal. Tubuhku hendak
berdiri saat seseorang membuka ruangan musik.
“ Pagi, Bu?”sapa bu Sally
hangat.
“Bu Sally, kukira
siapa?”
“Pagi benar sudah
datang, sengaja ya?”
Aku memalingkan mukaku.
Bersikap acuh mendengar pertanyaannya. Malu rasanya.
“Bu Leti sengaja ya?
Pasti mau membuktikan sesuatu di sini?” sindirnya lagi, lebih menusuk.
“Bagaimana kalau ibu ajari saya main piano saja, sudah dipasang kabelnya.
Sayang kan? ” tambahnya.
“Baiklah. Bu Sally
sebaiknya duduk di samping saya, kita main bersama.“ Yah, dari pada menunggu
sesuatu yang belum bisa dipastikan kebenarannya lebih baik main musik sekalian.
Permainan musiknya
tidak terlalu bagus, tidak terlalu jelek juga. Biasa saja. Mestinya aku pura-pura
percaya saja dari kemarin, dari pada berlaga mempertahankan argumenku yang
sama-sama tidak jelas halang - hujurnya. Dengan begitu mereka semua tidak akan
mogok bicara padaku.
“Mogok??“ Spontan
wajahku beralih pada Bu Sally. Aku mulai memperhatikan wanita di depanku. Ada
perasaan takut yang tiba-tiba menjalar di tubuhku. Merinding.
“Bu Sally?”tanyaku
menyelidik.
Wanita itu merengut
kesal. “Ada apa? Kenapa menatap saya seperti itu?”
Aku nyengir, menggaruk
kapalaku yang tidak gatal.
“Saya ke kantor dulu,
silahkan dilanjutkan misinya,“ucapnya sembari berlalu.
Aku menghela nafas
panjang. Termenung. Akhirnya kuputuskan keluar juga dari ruangan musik. Tak ada apa-apa.
Gosip murahan.
Di kantor sudah banyak
guru yang berkumpul. Mereka sama seperti kemarin, mendiamkanku. Hanya bu Sally
yang masih tersenyum.
“Ibu-ibu
dengarlah, dari tadi pagi saya di ruang
musik. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada bunyi-bunyi aneh,”seruku membuat
pengumuman.
Mereka semua
memandangku dengan cemas. Kali ini pandangannya berbeda dari kemarin. Pandangan
simpati.
“Sepertinya Bu Leti
harus memeriksakan diri ke dokter.”
“Saya tidak sakit.”
“Ibu sakit!”
“Tidak!”
“Ibu Leti, tadi pagi
saya dan bu Asih mendengar ada bunyi piano di ruang musik. Karena penasaran,
kami dekati. Dan kami melihat Ibu sedang bicara sendiri.”
“Siapa bilang, saya itu
tadi sedang bercakap dengan Bu Sally. “
Mereka semua saling berpandangan. “Bu Sally? Dari pagi kami tidak meihat Bu Sally”
“Bu Sally ada di depan
Ibu-Ibu semua. Ini Bu Sally!“kataku sembari mendekati bu Sally.
Mereka semua tetap
geleng-geleng kepala. Aku semakin keheranan. Ini sebenarnya aku sedang bermimpi
atau mereka yang tidak beres? Sementara
itu, bu Sally masih ada di tempatnya, menatapku dengan sedih.
Telepon berdering. Bu
Dini mengangkat telepon. “Iya, Pa! Apa? Kapan? Di mana?”
Pelan, bu Dini menutup
gagang teleponnya.
Sejurus kemudian wajah
bu Dini mengarah pada kami,“Bu Sally ditabrak mobil!”
Aku ternganga tak
percaya. Sementara di sampingku wanita bernama Sally itu masih duduk manis
sambil memandangku. Suaraku tercekat dikerongkongan. Aku ingin bangun dari
mimpi ini. Aku butuh dokter ??***
Bandung, 22 Oktober 2013