Oleh : Ani Nh Fazia
20 Maret 2014 pukul 20:46
20 Maret 2014 pukul 20:46
Dalam
rumus matematika satu ditambah satu selalu menghasilkan dua. Empat
dikali empat. Otak akan langsung merespon dengan angka enam belas.
Sehingga, matematika selalu dikaitkan dengan logika. Pasti dan tetap.
Dalam
rumus lain, misalnya pelajaran bahasa Indonesia. Ada
pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengharuskan kita untuk menjawab dengan
jawaban sama. Bisa jadi jawaban sama malah akan disalahkan oleh guru
bahasa Indonesia. Dibutuhkan kemampuan mengarang dan wawasan luas dalam
membuat suatu kalimat utuh.
Dikaitkan dengan kemampuan
otak. Beberapa ahli mengatakan bahwa otak manusia terbagi menjadi dua,
otak kanan dan kiri. Dalam seminar lain, disebutkan bahwa otak manusia
terbagi menjadi tiga bagian, kanan, kiri, tengah. Bagian-bagian tersebut
memiliki kecenderungan fungsi yang berbeda. Kanan untuk kreativitas,
kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh.
Kiri memiliki kecenderungan untuk lebih menggunakan logika, rasio, dan
analis. Kanan lebih pada rasa/ diambang bawah sadar. Bagian tengah
merupakan perpaduan diantara kedua belahan otak, dia mampu merasakan
sesuatu, misalnya : tahu letak piring/ garpu sekali pun dengan mata
tertutup.
Anehnya, dalam penelitian yang
dilakukan University of Utah menyebutkan bahwa, keyakinan tentang
kemampuan dominan otak hanya mitos belaka. Setelah dilakukan beberapa
penelitian pada 1.000 lebih sampel otak, nyatanya orang-orang tersebut
tidak ada yang dominan menggunakan salah satu bagian otak. Semua
berjalan saling berhubungan/ seimbang yang melibatkan kemampuan dari
otak kanan dan kiri. Ada pun seseorang yang dalam satu waktu lebih
menggunakan bagian otak tertentu, itu untuk menjalankan fungsi khusus
yang disebut lateralisasi. Tapi bukan berarti kecenderungan pada salah
satunya.
Entahlah yang mana yang benar. Anggap saja
penelitian di atas mempunyai kekuatan yang sama. Hanya saja saya ingin
memfokuskan pada kemampuan masing-masing otak.
Jika
dikaitkan dengan Impian. Seseorang yang mengandalkan logikanya/otak
bagian kiri akan berfikir berulang kali jika impiannya tidak masuk akal.
Sehingga banyak ketidakmungkinan yang akan bersarang dalam pikirannya.
Saat kemampuan intuitifnya muncul atau otak kanan merespon, maka
ketidakmungkinan tersebut akan dibabat habis. Sehingga yang muncul
adalah plan-plan yang teramat memotivasi dalam meraih impiannya
tersebut. Maka ketidakmungkinan akan berubah menjadi “bisa” dalam kamus
hariannya.
Kembali ke soal matematika dan bahasa
Indonesia. Jika kita kaitkan dengan sedekah yang dikeluarkan. Matematika
seolah menjadi tumpul. Karena satu ditambah dengan satu bisa jadi
berpuluh-puluh atau beratas kali lipat. Angka ini bisa dianalogikan
dengan pahala yang didapat. Dan Subhanallahnya lagi, angka ini bukan
saja dianalogikan pahala. Di lain kesempatan, angka ini benar-benar
menjadi angka nominal dalam bentuk materi yang berkali lipat.
Berlanjut pada cinta. Bagaimana otak kanan dan kiri berbicara cinta?
Pada
saat otak manusia berpikir tentang cinta. Maka logika dan intuitif
perlu dimunculkan secara bersamaan. Otak kiri dan kanan harus seiring.
Cinta tanpa dasar logika akan buta, sedang cinta tanpa rasa, tanpa
intuisi menjadi hambar tanpa tujuan.
Dasarnya cinta
ini adalah baik. Dalam penggunaannya cinta ini akan sesuai pada jalurnya
atau bisa jadi lari dari makna sebenarnya.
Seseorang
yang bermabuk-mabukan mengatakan cinta terhadap alkohol. Seseorang yang
mencari dan menumpuk harta tanpa spiritualitas menjadikannya cinta
materi. Seorang istri/ suami yang selingkuh/tidak menjaga kehormatannya
dan berpaling dari suami/ istri sahnya mungkin disebut cinta juga.
Seseorang yang mati-matian mengagungkan sosok yang dikaguminya bisa jadi
adalah cinta. Seseorang yang rela memberikan kehormatan dirinya tanpa
pernikahan terhadap lawan jenisnya bisa jadi disebut cinta. Seseorang
yang rela meninggalkan agamanya karena menginginkan kebahagiaan dirinya
bisa jadi cinta juga. Seseorang yang tidak shalat karena sibuk bekerja
disebut cinta kerja.
Pertanyaannya, cinta seperti
itukah yang dicari? Cinta seperti itukah yang diinginkan? Cinta seperti
itukah yang kita tukar dengan aqidah diri? Menjadikan
tandingan-tandinganNya sebagai cinta yang kita pahami.
Ketika
sesuatu lebih dicintai dariNYA, maka sesungguhnya ia telah kehilangan
makna cinta itu sendiri. Pada saat rasa kehilangan “makna” masih juga
tidak dirasakan, masih tidak peka dengan makna hakiki cinta, maka
perlahan tapi pasti. Cinta yang bersumber dariNYA, cinta yang ditanam
olehNYA, cinta yang benar-benar murni dariNYa perlahan akan tertutup,
sehingga redup yang tersisa. Maka cukup, cinta seperti itulah yang ia
yakini. Dan Allah akan hantarkan dirinya dengan orang-orang yang
mempunyai pemahaman cinta yang sama. Entah itu salah atau benar dalam
pandangan dirinya.
Walahu’alam bi shawab.
by. Ani Nh Fazia
Kamis, 20 Maret 2014