Rabu, 27 April 2016

Sesuatu di Ruang Musik

Terbit di Majalah Pena edisi 445  2014 hal 30-32                                    
Sesuatu di  Musik
oleh Ani Nh Fazia
    
            “Disana ada suara-suara aneh!”teriaknya pada suatu hari.
Guru-guru yang lain ikut menimpali tidak kalah seru. Aku sendiri bersikap acuh, tak peduli.
“Kelas musik itu memang rada angker. Kadang-kadang bukan suara piano saja yang bunyi. Apa pun yang berbau musik pasti akan terdengar!“seru Bu Sally berapi-api.
Awalnya aku sendiri heran, kenapa kabel-kabel selalu dicabut. Kenapa pula puzzle-puzzle tidak dibiarkan ditempatnya. Tapi dilepas dan dipisahkan. Ternyata hal itu memang sengaja dilakukan, untuk menghindari bunyi. Suara dari puzzle yang kalau dicabut, kemudian dipasangkan kembali akan menghasilkan lagu.
“Jangan ketakutan seperti itu, paling itu halusinasimu saja, Bu,” kataku menenangkan.
“Lha, aku ndak parno. Yang lain sudah tahu, kamu sendiri saja yang ketinggalan zaman.”
“Kenapa jadi bawa-bawa jaman? “
“Kalau ketinggalan berita, itu sudah ndak aneh,”jawabnya sambil memanyunkan bibir.
Aku melongo takjub, sambil manggut-manggut setuju. Yang lain tertawa saja mendengar kata-kata yang dilontarkan bu Sally padaku. Tidak protes atau membela.
Esoknya, ketika aku datang ke sekolah. Perbicangan tentang keangkeran kelas musik makin santer merebak.
Sekarang bukan saja guru-guru, anak-anak ikut bergosip ala detektif. Sebetulnya, tidak tahu juga sih, detektif itu kalau bergosip seperti apa. Tapi perbincangan mereka benar-benar serius. Ini  jelas tidak dapat dibiarkan.  Harus  segera ditindak lanjuti agar tidak kebablasan.
Gawatnya, pasien halusinasi semakin bertambah. Bukan hanya ibu Sally, tapi ada ibu Imas, ibu Asih, dan Ibu Dora. Tentu saja, ini menambah kerjaan baru bagiku. Satu saja sudah sulit, apalagi ditambah beberapa pasien. Bisa-bisa aku yang malah ikutan gila seperti mereka.

“Bu Leti, berita ini benar-benar kenyataan“ ujar Bu Asih, sesama rekan kerjaku.
“Kenapa beritanya baru terdengar sekarang-sekarang, tidak dari dulu?”tanyaku tidak puas.
“Stt…“bu Asih mendekatkan mulutnya ditelingaku. “Mungkin datangnya baru-baru sekarang Bu. Sepertinya ruang musik adalah ruangan yang dianggap cocok dan pas sebagai rumah barunya.”
Hiyyy, bulu kudukku langsung merinding seketika. Hampir saja aku terhanyut oleh kata-katanya, membujukku untuk percaya dan takut.  Mulutku komat-kamit mulai bersuara, berdehem beberapa kali.
Perasaan empati tiba-tiba menjalari tubuhku. “Bu Asih, yang sabar ya. Saya berdo’a semoga Ibu tidak mendengar suara-suara aneh lagi. Percayalah, itu hanya sementara. Dunia kita sudah berbeda dengan mereka. Semoga Ibu cepat sembuh dari perasaan-perasaan takut.”
Mendengarku berkata seperti itu, bu Asih melengos kesal. Mulutnya ditekuk, tidak tertawa, tidak pula tersenyum. Dan esoknya, semua guru memusuhiku. Alasannya sepele. Aku dianggap makhluk aneh yang  tertinggal  zaman.  Tidak ada yang mengajakku bicara, tidak ada  yang menegur sapa. Semua  guru hanya bicara kalau ditanya. Persis seperti robot. Aku menjadi orang terkucil.
Malamnya, pikiran-pikiran aneh mulai berseliweran dikepalaku. Bagaimana kalau mereka benar dan aku salah.
“Ahh, kenapa gara-gara tidak percaya masalah jadi rumit seperti ini?“Aku tertawa geli. Semoga hari ini saja mereka berlaku seperti itu.
Masih terlalu pagi ketika mereka semua benar-benar mendiamkanku. Aku teramat bimbang, Bukan sehari atau dua hari. Lebih. Setelah kuhitung-hitung jari, ini adalah hari ketujuh. Kuacungkan jempol, mereka kuat sekali memegang prinsip mendiamkanku. Sudah seperti memegang kepercayaan saja rupanya.
Demi membela kehormatanku, maka kuputuskan datang lebih awal ke sekolah. Sepertinya aku mulai terbawa tidak waras. Tapi biarlah, demi harga diriku.
Hari masih terlihat remang, saat aku menggedor-gedor gerbang sekolah. Nekat minta dibukakan pintu. Tidak ada siapa-siapa. Terpaksa kudiamkan diriku mematung di depan gerbang. Satu jam berlalu saat satpam datang.
“Pagi sekali sudah datang, Bu?” sapa Tejo padaku yang malas tersenyum.
“Ah, tidak, saya juga baru datang…”jawabku menahan malu. Untung Tejo tidak banyak bertanya, aku merunduk dan segera pergi. Tak berkata apa-apa.
Aku mulai mempercepat langkahku, mengamati pintu ruang musik. Mendekatkan daun telingaku. Tak ada suara di sana.
“Yang kulakukan ini benar tidak ya?” kataku mulai marah-marah sendiri. Memegangi kepalaku yang tidak panas.
‘Cekrek ,,,!’Pintu berhasil kubuka.
‘Kreeeettt..’sekarang giliran kuseret keluar gagang pintu ruangan.
Mataku mulai memandangi ruangan, memicingkan mata seperti kucing. Kabel-kabel yang  tercerabuti sengaja kupasang. Puzzle-puzzle musik yang dilepas, kuambil dan kuletakkan kembali sesuai pasangnnya. Dan segala macam benda yang akan menimbulkan bunyi segera kunyalakan. Lama, benda-benda ini bukannya berbunyi malah membuatku jenuh menunggu. Apa aku hentikan saja rencana gila ini.
Pegal. Tubuhku hendak berdiri saat seseorang membuka ruangan musik.
“ Pagi, Bu?”sapa bu Sally hangat.
“Bu Sally, kukira siapa?”
“Pagi benar sudah datang, sengaja ya?”
Aku memalingkan mukaku. Bersikap acuh mendengar pertanyaannya. Malu rasanya.
“Bu Leti sengaja ya? Pasti mau membuktikan sesuatu di sini?” sindirnya lagi, lebih menusuk. “Bagaimana kalau ibu ajari saya main piano saja, sudah dipasang kabelnya. Sayang kan? ” tambahnya.
“Baiklah. Bu Sally sebaiknya duduk di samping saya, kita main bersama.“ Yah, dari pada menunggu sesuatu yang belum bisa dipastikan kebenarannya lebih baik main musik sekalian.
Permainan musiknya tidak terlalu bagus, tidak terlalu jelek juga. Biasa saja. Mestinya aku pura-pura percaya saja dari kemarin, dari pada berlaga mempertahankan argumenku yang sama-sama tidak jelas halang - hujurnya. Dengan begitu mereka semua tidak akan mogok bicara padaku.
“Mogok??“ Spontan wajahku beralih pada Bu Sally. Aku mulai memperhatikan wanita di depanku. Ada perasaan takut yang tiba-tiba menjalar di tubuhku. Merinding.
“Bu Sally?”tanyaku menyelidik.
Wanita itu merengut kesal. “Ada apa? Kenapa menatap saya seperti itu?”
Aku nyengir, menggaruk kapalaku yang tidak gatal.
“Saya ke kantor dulu, silahkan dilanjutkan misinya,“ucapnya sembari berlalu.
Aku menghela nafas panjang.  Termenung.  Akhirnya kuputuskan keluar  juga dari ruangan musik. Tak ada apa-apa. Gosip murahan.
Di kantor sudah banyak guru yang berkumpul. Mereka sama seperti kemarin, mendiamkanku. Hanya bu Sally yang masih tersenyum.
“Ibu-ibu dengarlah,  dari tadi pagi saya di ruang musik. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada bunyi-bunyi aneh,”seruku membuat pengumuman.
Mereka semua memandangku dengan cemas. Kali ini pandangannya berbeda dari kemarin. Pandangan simpati.
“Sepertinya Bu Leti harus memeriksakan diri ke dokter.”
“Saya tidak sakit.”
“Ibu sakit!”
“Tidak!”
“Ibu Leti, tadi pagi saya dan bu Asih mendengar ada bunyi piano di ruang musik. Karena penasaran, kami dekati. Dan kami melihat Ibu sedang bicara sendiri.”
“Siapa bilang, saya itu tadi sedang bercakap dengan Bu Sally. “
Mereka semua saling berpandangan.  “Bu Sally? Dari pagi kami tidak meihat Bu Sally”
“Bu Sally ada di depan Ibu-Ibu semua. Ini Bu Sally!“kataku sembari mendekati bu Sally.
Mereka semua tetap geleng-geleng kepala. Aku semakin keheranan. Ini sebenarnya aku sedang bermimpi atau mereka yang tidak beres?  Sementara itu, bu Sally masih ada di tempatnya, menatapku dengan sedih.
Telepon berdering. Bu Dini mengangkat telepon. “Iya, Pa! Apa? Kapan? Di mana?”
Pelan, bu Dini menutup gagang teleponnya.
Sejurus kemudian wajah bu Dini mengarah pada kami,“Bu Sally ditabrak mobil!”
Aku ternganga tak percaya. Sementara di sampingku wanita bernama Sally itu masih duduk manis sambil memandangku. Suaraku tercekat dikerongkongan. Aku ingin bangun dari mimpi ini. Aku butuh dokter ??***

Bandung, 22 Oktober 2013


Tidak ada komentar: