Kamis, 12 Desember 2013

Coretan Hati

Oleh: Ani Nh Fazia

12 Desember 2013 pukul 22:52

Seperti biasa, aku mencium dan menyalami tangan kedua orang tuaku sebelum pergi mengajar.

Mendekap tubuh ibu dengan erat. Entah kenapa, ada yang lain hari ini. Ada rasa sedih ketika menggenggam tangannya. 

"An berangkat ya, Mah, Pa!" pamitku pada mereka.

"Hati-hati bawa motornya."

"Ya, siap!" seruku sembari tersenyum dan melambaikan tangan.

Dan benar saja, betapa cengengnya hati ini. Aku merasakan genangan air dikelopak mata. Mengalir hangat.

Ah, untunglah hal ini terjadi saat perjalanan di motor.

Pertanyaannya, Kenapa hati ini mudah sekali terharu, mudah sekali merasa cengeng?

Mungkin hal ini juga yang menjadi alasanku menyukai helm berkaca. Bisa menangis dalam diam, tanpa kata, tanpa malu, tanpa tatapan orang disekitar. Hati ini mudah sekali terharu, mudah sekali menjadi cengeng.

Mentap keduanya  mengingatkanku pada ucapan seorang kawan saat berkunjung ke rumah.

"An, bapak An sepertinya sayang banget ya, sama Ani?" tanyanya waktu itu.

"Oh ya? Ko bisa bilang begitu, tau dari mana?" tanyaku padanya.

"Bisa merasakan. Dari caranya berbicara, dari sikapnya. Sepertinya begitu."

"Alhamdulillah." AKu tersenyum dan diam-diam mengiyakan.

Seperti halnya rasa yang mereka berikan. Teramat pula aku cinta. Padanya, pada keduanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan.


12-12-13

edisiHati

Selasa, 03 Desember 2013

Sweet

oleh : Ani Nh Fazia

Seandainya kau mampu melihat kehidupan lewat mataku
Akan banyak cerita yang dapat kau bagi denganku
Seandainya kau bersedia bersandar di pundakku kelak
Biar kurasakan tangismu pula
Seandainya kau yakin, bahwa kau akan menjadi seorang ayah yang bijak
Kuyakinkan dirimu pula, bahwa aku sedang belajar menjadi seorang ibu
Seandainya kau biarkan aku menemani langkahmu kelak
Tetap lah  merasa nyaman disampingku

Tak kuketahui dirimu
Pun mungkin tak kau ketahui aku
Tapi rasa yang diikatkanNYA
Lebih kuat dari apa pun

Ada saatnya, jiwa satu iman
Satu  pandangan
Akan menemui jalurnya sendiri
Bukan mata yang melihat
Tapi ruh yang berkata "Ya"

Kemana pun hati berkeliling
Akan ada saatnya pula
Allah hentikan,
menautkannya dengan hati yang sama
Sehingga memalingkan dari hati yang lain

Hihi.. kembali berpuisi

Rabu, 13 November 2013

Saat Bersama Sahabat


Pagi tadi, saya dikunjung seorang sahabat di TK. Senangnya dapat kunjungan, walaupun hanya sekedar mengambil proposal.  

--cerita lain_
bersama sahabat
Siang itu langit masih cerah. Subhanallah. Maka segera saya sms seseorang, “Hari ini jadi, ya!”

Namun, cerah itu hanya sesaat. Hujan seperti tumpah ruah ke bangunan sekolah. Besar sekali. 

Hingga waktu meluncur dengan cepatnya, sore.

Ingin sekali mengsms nya, memastikan jadi atau tidak. Tapi segera kutahan. Tunggu sebentar lagi, mungkin akan reda. Sayangnya, bukan reda, malah tambah deras.

Ingin sekali membatalkan janji hari itu. Bukan karena tak mau datang, tapi hujan hari itu, benar-benar mengkhawatirkan. Apa dia akan baik-baik saja jika pergi di tengah hujan deras? Apa aku juga akan tahan menggigil di motor, memaksakan diri untuk pergi?

Aku mulai mengetik pesan untuknya, “Hari ini hujannya besar, ya? Udah berangkat atau belum?

” Sudah di Mesjid Agung, An,” bunyi sms nya mantap.

Sontak aku berdiri. Segera membereskan barang-barang, dan meluncur ke Mesjid Agung. Hujan memang, tidak apa lah, sudah lumayan reda. Dan ada jas hujan, itu yang paling penting. Khawatir takut ia menunggu lama. 

Hujan rupanya tidak membuat jalanan menjadi macet. Motorku sampai lebih cepat. 

Dalam keadaan menggigil, aku memarkirkan motor, melepas jas hujan, dan berjalan ke arah mesjid. Aku melihat sosoknya dari kejauhan. Wajahnya teduh memandangku. Seulas senyum, kutangkap dari wajahnya.

“Maaf ya, rempong!” kataku padanya.

Ia tersenyum dan mengatakan, “Tetep Kece. Sini saya pegangin. Helmnya titip di sana aja,” sambil menunjuk tempat penitipan sepatu dan sandal. Aku mengikuti sarannya.

Hanya satu tas yang tidak aku simpan. Tas penuh berisi kalender. 

“Tau nggak, kalender ini baru saja bertambah kemarin. Inalillahi!”

 Ditambahin berapa? Tanyanya penasaran.

Delapan, dan deadline nya sekitar tanggal 15/16. Setelah itu, selesai. Bisa nggak ya?” tanyaku sembari menatapnya.

“Bisa, yu kita cobain sekarang?”

Pada akhirnya, aku dan gadis itu berkeliling menjual kalender. Meski  dengan perasaan campur aduk. Antara canggung, takut, malu, dan etah apa lagi. 

Ada hal-hal menarik yang kami temui di sana. Di saat kami menjual, di saat yang sama pula kami melihat seorang ibu berjualan koreka api.

“Katanya harga korek itu Rp 2.000,00. Murah mahal?” tanya gadis manis yang saat itu ada di sampingku.

“Mahal. Tapi, beli aja yu!” 

“Yu.” Jawabnya singkat.

Hal yang kupikirkan ketika membeli korek itu bukanlah korek yang ada dihadapanku. Tapi cerita lain, tentang Bapak Penjual Amplop yang selalu menjual amplop- amplopnya dengan harga murah di Mesjid Salman ITB.

Banyak orang membeli sesuatu karena memang ia benar-benar membutuhkannya. Tapi tidak ada salahnya, kita membeli sesuatu bukan karena kita membutuhkan, tapi karena kita tulus ingin membeli. Bukan untuk kita, tapi untuknya. 

Dan wanita itu tetap semangat menjual korek-koreknya sampai sore hari, berkeliling-keliling ke jalan.
.
Aku dan kawanku saling pandang, saling tatap, kemudian tertawa. 

“Ibu itu aja semangat, jangan kalah Vin,,,,” kataku padanya.

“Kalau kita ngga semangat, inget aja teteh yang di PUSDAI. Bisa kita contoh,,”jawabnya sambil tertawa. Aku mengangguk mengiyakan. 

Dan betapa banyak kejadian lucu yang kami alami. Sambil jualan sambil keliling toko, melihat-lihat baju, “ada ya,,,jualan begini,heehe.” Kami juga melihat suara pengamen tradisional yang mengamen dengan gendang-gendangnya di pinggir jalan, memakai pakaian daerah, seragaan pula. Keren!  Juga merasakan kembali, berjualan ke sembarang orang. 

Hingga waktu berlalu, maghrib berkumandang dengan merdunya. 

“Subhanallah, akhirnya. Hari ini lumayan banyak, Vin. Sebelum tanggal 15.”

---
Ada hal lain yang saya pikirkan, hakikatnya bukan kalender ini yang di jual. Tapi usaha kita dalam mengemban amanah. Sebaik-baiknya orang adalah yang member manfaat. 

Selain bisa bersilaturahmi dengan banyak orang, merasakan bagaimana penolakan orang ketika ditawari kalender, atau bahagia tiada tara karena ternyata mereka menyukai dan bersedia membeli kalender yang kita tawarkan, kita juga bisa ikut berpartisipasi membantu pengumpulan dana lewat kalender.

Ah, pada akhirnya acara diakhiri setelah maghrib.. Aku membuka tasku. 

“Eh, ternyata ani ada minum. Ada makanan juga. Ini tadi dikasih dari TK,” kataku padanya.

“Dasar guru TK.”

Aku nyengir menanggapi ucapannya, “Hehe. Mari kita makan ini sebelum pulang.”

---

Kamis, 23 Mei 2013

Kematian : Pertemuan Dengan Mas Paino



Oleh : Ani Nh Fazia

Padahal, terasa baru kemarin, aku berpapasan dengan lelaki paruh baya itu di jalan. Lelaki itu bersama anak lelaki dan cucunya . Ia menggendong cucu semata wayangnya itu dengan lembut. Terlihat sekali bahwa lelaki itu begitu menyayangi cucunya. 

"Mau kemana ade?" tanyaku pada cucunya itu. Anak itu kira-kira berusia satu tahun. 

"Ke Pasar Baru," jawab lelaki itu sambil tersenyum.

" Aduhh, asik donk. Mau beli baju baru, ya ?  Atau mau beli mainan?" 

"Ah, enggak! Ini mau jalan-jalan. kalu anak-anak lain nangis, mungki ingin dibeliin mainan,    kalau ini enggak. Mintanya selalu jalan-jalan. keliling-keliling aja."
"Ohhh.." ucapku seraya mengangguk.
Tiba-tiba tanpa bisa kutahan meluncur dari mulutku begitu saja, " Bagaimana kalau ke mesjid Agung saja? Daripada ke Pasar Baru. Penuh. Sesak. Adenya juga ga leluasa jalan-jalan!" ucapku sok  meyakinkan.
"Iya kan, De?" sekarang berbalik menatap anak kecil yang sedang digendong itu. " Di sana bisa naik menara. Bisa lihat kota Bandung dari atas menara. Pemandangannya jauh lebih enak. Ada air mancur juga. Dan mesjidnya luas, bisa nyantai. " 

Lelaki paruh baya itu berfikir sejenak, kemudian tanpa banyak bertanya dia menganguk pelan.
           
  " Yu, ke mesjid Agung!" ajak lelaki paruh baya itu itu pada anak lelakinya.
          
  " Dari sini naik apa ya, mbak ?" Anak lelaki paruh baya itu yang kini balik bertanya padaku.
  
Serta merta kutunjukan transportasi yang menuju mesjid Agung. Dan ternyata, saranku itu sukses besar dalam mempengaruhi mereka.

Setelah itu, setelah jarang berpapasan lagi dengan lelaki paruh baya itu. Nyaris tidak pernah. Kejadian itu mungkin sebulan yang lalu. Kabar mengejutkan datang, tetanggaku itu, lelaki paruh baya itu, meninggal dunia.

" Inalilaahi wa inna illaihi raa ji'un." 

Ia meninggal tadi malam pukul 21.00 WIB. Penyakit jantungnya kumat. Lelaki itu meninggal saat dilarikan ke rumah sakit. Sudah tidak kuat lagi dan akhirnya meninggal dalam perjalanan. Dan sekarang sedang dibawa menuju kampong halamannya. Istri dan keluarganya tidak berada di Bandung bersamanya.

Hidup itu tidak akan pernah abadi, tidak sesederhana yang dibayangkan. Dan tidak selalu panjang seperti yang kita harapkan. Ada saatnya manusia kembali pada penciptaNYA tanpa bisa kita halangi.

Entah itu dalam kurun yang lama, atau bahkan dalam waktu yang teramat singkat. Semoga Allah memberi tempat terbaikNYA, mengampuni dosanya, serta memberi kesabaran dan melapangkan hati keluarga yang ditinggal. Aamiin.
---
Di bawah ini diambil dari postingan, entah saya lupa milik siapa... sengaja saya masukkan karena berkaitan dengan catatan saya di atas.


Pada suatu hari "Kematian" dan "Kehidupan" bertemu satu sama lain, lantas mereka ngobrol:

Kematian : "Kenapa orang2 itu menyukai kamu, tapi mereka amat membenci aku?"

Kehidupan (menjawab sambil tersenyum) : "Orang-orang menyukaiku karena aku adalah 'dusta yang indah', sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah 'kebenaran yang menyakitkan'."

*Saya suka dengan quote ini--entah siapa yg pertama kali menuliskannya, beberapa bilang Kahlil Gibran, tapi boleh jadi asal quote ini lebih lama dibanding itu. (repost)

....