Oleh : Ani. Nh Fazia
Pernahkan Anda sekalian mendengar kata-kata seperti ini:
JIka
anak dibesarkan dengan celaan,
dia belajar memaki.
Jika
anak dibesarkan dengan permusuhan,
dia belajar
menentang.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
dia
belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan rasa
malu,
dia belajar merasa bersalah.
Jika
anak dibesarkan dengan dorongan,
dia belajar percaya
diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
dia
belajar menjadi penyabar.
Jika anak dibesarkan dengan
pujian,
dia belajar menghargai.
Jika anak
dibesarkan dengan penerimaan,
dia belajar mencintai.
Jika
anak dibesarkan dengan peneguhan,
dia belajar untuk
menyukai diri sendiri.
Jika anak dibesarkan dengan
kejujuran,
dia belajar kesejatian.
Jika
anak dibesarkan dengan rasa aman,
dia belajar untuk
mempercayai diri sendiri dan orang lain.
Jika anak
dibesarkan dengan persahabatan,
dia belajar bahwa dunia
adalah tempat yang indah untuk hidup ( oleh Dorothy Law Nolte)
Bagi
para orang tua yang baru saja mengetahui kata-kata di atas, saya
ucapkan selamat untuk segera mempraktekannya. Meskipun, saya juga tidak
terlalu yakin, kalau orang tua yang sudah mengetahui tulisan itu
beberapa waktu lalu, apakah mereka telah mempraktekannya, atau mungkin
hanya dianggap angin lalu ?
Apakah Anda tahu, anak adalah aset
yang paling berharga?
Lantas, ketika Anda dititipi anak oleh sang
Pencipta, kenapa Anda justru menjadikannya objek sasaran baku tembak
yang siap di DOOR, atau dijejali dengan
segudang keinginan Anda. Lebih parahnya lagi, anak dijadikan sesuatu
tak nilai yang bisa dikendalikan.
Sebelum membahas lebih lanjut
tentang bahasan di atas, marilah kia berjalan-jalan untuk mendengar
kisah yang satu ini. Entahlah, apa nyambung atau tidak dengan bahasan?
Di
ambil dari buku berjudul, “Anakku Seorang Skizofrenik !” yang ditulis
oleh Beth Henry dan Vincent L. Pastore, Ph. D.
Buku tersebut
menceritakan tentang perjalanan seorang ibu tiri dalam menangani seorang
anak skizofrenia.
Awalnya, anak tersebut sehat walafiat alias
normal. Namun, sang ibu kandung kurang memperhatikan kondisi anak. Dia
bersikap acuh tak acuh kepada anaknya sendiri. Sang ibu kandung dan sang
ayah pun kerjanya hanya menghabis-habiskan waktu untuk perang mulut.
Walhasil, cerailah keduanya.
Sang anak berhasil di ambil hak
asuhnya oleh ibu kandungnya. HOREY!!! Begitulah cinta yang tidak di
dasari dengan keimanan dan nafsu sesaat “PUTUS TENGAH JALAN!”
Apakah
sang anak bahagia ,,,tunggu dulu Bu, Pa!!! Kenyataan berkata lain,
mulai dari pakaian, makan, kegiatan, perlakuan, semua amburadul.
Si
ibu malah lebih menghabiskan waktu dengan kekasih barunya, si ibu juga
sering menitipkan anaknya untuk di asuh dan di rawat oleh kekasihnya
itu. Perlahan, anak yang sangat manis itu berubah menjadi kumal, tidak
terawat, parahnya lagi mungkin menjadi seorang “MONSTER”
Si Ayah
yang melihat kondisi anaknya tidak terurus memutuskan untuk membawa sang
anak tinggal bersamanya. (Sebenarnya, saya sedikit lupa cerita .hehe;p
). Sang ibu kandung menyetujui dan mengizinkan sang ayah untuk membawa
anaknya tersebut.
Saat itu, si ayah sudah menikah dengan wanita
lain. Dia juga sudah mempunyai anak dari istri barunya. Ketika di bawa
kehadapan ibu tirinya. Waww, sang ibu tiri kaget luar biasa
,,,anak tirinya itu benar-benar dalam kondisi mengkhawatirkan, kurus,
kering dan tidak terawat.
Sang ibu tiri
yang baik itu pun merawat anak tadi dengan kasih sayang tanpa
membeda-bedakan.
Parahnya adalah, anak tersebut benar-benar
sudah menjadi iblis. Kenapa di sebut iblis?
Inilah
beberapa tingkah laku yang sangat tidak wajar dilakukan anak:
Dihadapan
yang lain si anak bersikap manis, namun di suatu waktu dia bisa berubah
menjadi sosok lain yang sangat beebeda. Anak ini mempunyai kepribadian
ganda yang sulit di tebak. Sering sekali si Anak menghabiskan waktu
untuk mengobrol bersama dengan suatu makhluk yang sebenarnya tidak ada.
Dia memanggil makhluk itu dengan sebutan setan.
Halusianasinya
telah mencapai tingkat tinggi yang terkadang dia sendiri tidak
menyadari mana yang halusianasi dan mana yang asli. Dia mempunyai dunia
sendiri yang tidak bisa dimasuki atau dijamah siapa pun.
Di
sekolah, anak tersebut sering bersikap tidak normal. Pasalnya, dia
selalu mengganggu anak perempuan dan dengan sengaja memegangi kemaluan
anak perempuan tersebut.
Anak itu tak henti membuat kekacauan, dia
bahkan sering memukul teman-temannya, dan bersikap tidak senonoh
terhadap teman perempuannya.
Bukan hanya itu, dia juga tidak
segan-segan menancapkan pinsil pada kedua bola mata sang kakak tiri.
Anak itu tidak pernah menyesal dengan perilakunya, dia malah merasa
senang dan puas telah melakukan hal tersebut.
Nafsunya untuk
melukai orang-orang disekitarnya benar-benar tidak terkontrol. Dia
bahkan tidak segan untuk membunuh orang. Padahal usianya baru 5 tahun.
Anda bayangkan, anak sekecil itu????!!!
Meskipun sang ibu tiri
selalu memberikan cinta kepada sang anak, rupanya hal tersebut tidak
berpengaruh sama sekali.
Anak tersebut malah sering melakukan
berbagai cara untuk melenyapkan nyawa adik bayi tirinya.
Pernah
suatu waktu si anak dengan sengaja mengambil pisau dan hendak
menghunuskannya ke adik bayinya itu. Ibu tirinya yang melihat kelakuan
anaknya merasa ketakutan, ia berlari mengambil bayi itu dan berusaha
menghindari sang anak.
Sang anak yang melihat ibunya ketakutan
hanya tertawa dan mengejar puas. Menggedor-gedor pintu yang dikunci
sembari membawa-bawa pisau.
Hal apakah yang menyebabkan anak
sedemikian parahnya? Segala obat telah dicoba, ia pun telah menjalani
pengobatan di rumah sakit dengan biaya yang sangat mahal. Tetap saja,
usaha ini sia-sia.
Bapak dan ibu tahu kenapa? Karena anak tersebut
menderita penyakit skizofrenia. Suatu penyakit yang sampai saat ini
belum ada satu pun obat yang bisa menyembuhkan kecuali mengurang
gejalanya saja.
Sebenarnya, apa
penyebab anak mengalami gangguan yang luar biasa seperti itu? Tekanan
apa yang melatar belakanginya?
Ternyata,
anak yang tadinya normal tersebut mendapatkan perlakuan yang amat biadab
dari kekasih ibu kandungnya.
Tiap pagi , si anak di suruh
menyedot alat vital si kekasih ibunya. Si anak mengaku, ia merasakan
dari alat vital yang di sedot itu keluar cairan berwarna putih yang
selalu di makannya tiap pagi. Kekasih ibunya itu pun sering sekali
menyiksa anak dan memasukannya ke kamar mandi, merendamnya selama
berjam-jam di dalam bak.
Itu bukan apa-apa.,, Hal yang paling
mencengangkan adalah perlakuan dari ibu kandungnya sendiri yang tidak
waras. Sangat tidak masuk akal?
Apa mungkin ada seorang ibu yang
dia sendiri menodai kehormatan sang anak. Sang ibu sering menggigit dan
menyedot alat vital anak tersebut, berbuat tidak senonoh kepada anak
kandungnya sendiri. Perbuatan yang membuat siapa pun yang mendengar
merasa sesak dengan perbuatan sang ibu.
Apakah anak
tersebut sembuh? Sampai di penghujung cerita, anak
tersebut tidak dapat kembali ke sifatnya seperti sedia kala. Panyakit
yang pada akhirnya harus membuatnya tinggal di rumah sakit khusus.
Cerita
ini benar-benar di ambil dari kisah nyata !! Baca selengkapnya, dengan
membeli bukunya, hehe.
Kembali ke topik,
seringkali orang tua berkata “Surga itu ada di telapak kaki, ibu.”
“Seorang anak harus patuh dan taat kepada orang tuanya!”
“Jangan
jadi Anak durhaka, Kamu!”
Ya, itu memang benar adanya.
Tetapi, apa Anda tidak pernah merasakan menjadi seorang anak? Kilas
balik, bagaimana rasanya?
Sebagai orang tua yang bijak,
tentu akan lebih baik lagi jika kita memahami dan mengenali kondisi
psikologis anak. Cobalah untuk memaafkan kesalahan anak,
duduk bersama-sama dengan anak, menjadi teman
berbaginya dan lakukan pendekatan yang baik dengan
anak.
Semakin dewasa seorang anak, maka keegoannya
semakin tinggi, dia menjadi sosok yang tidak mau di tentang dan di atur.
Dia ingin bebas, dia ingin keinginannya di dengar oleh orang tuanya.
Orang
tua pun tentu seperti itu, merasa tinggi, ingin di hormati, ingin di
segani, ingin anaknya tidak melawan dan ingin anaknya bersikap tidak
memusuhi.
Tapi kita harus ingat!
Anak bukanlah robot atau
malaikat yang diam dan tunduk mengikuti semua aturan. Anak kita adalah
milik Allah , dia itu hanya titipan sementara.
“ Keteladanan
itu lebih ampuh dan bermakna dibanding dengan seribu kata-kata!” Jika
Anda menginginkan anak anda menjadi seseorang yang taat. Maka penuhilah
hak-hak anak. Anda tahu betapa Rasulullah adalah seseorang yang begitu
penyabar dalam menghadapi anak-anaknya?
Anak yang baik, dihasilkan
dari cara didik yang baik. Bukan dalam artian mengerasi anak atau malah
memanjakan anak secara berlebihan.
Sebagai contoh :
Bagaiaman
perasaan anda ketika melihat anak anda pulang malam, tanpa memberi
kabar sebelumny? Apa anda akan mengacuhkannya dan bersikap tidak peduli atau Inilah hal yang mungkin anda berkata, “Kemana saja
kamu, pulang jam segini, ga malu apa?”
Sadar atau tidak, sikap acuh dan
kata-kata tersebut secara tidak langsung telah menjauhkan diri Anda
dengan sang anak. Telah membuat garis pemisah yang sangat lebar, telah
membuat pengurangan harga diri Anda dihadapan sang anak, telah membuat
ketakutan sekaligus penanaman rasa benci dalam diri anak untuk mulai
berontak.
Akan ada respon lain (positif) ketika Anda berkata, “Baru
pulang, sayang? Kamu bersihkan muka dulu ya, ibu nanti mau berbicara
sebentar sama kamu, “ ucapakan hal tersebut dengan suatu sentuhan
yang ditujukan kepada anak.
Survey membuktikan, suatu hubungan
akan semakin harmonis jika di dalam hubungan tersebut terdapat kontak
fisik secara langsung “meski pun hanya sebuah sentuhan kecil ,”
Anda
jangan merasa malu berbuat seperti itu, ke anak kok malu ?!
Anda
juga jangan merasa gengsi untuk mengucapkan maaf
atau sekedar mengucapkan
terimakasih kepada anak. Bukankah itu hal yang baik
untuk membiasakan anak melakukan hal yang sama seperti yang Anda
lakukan?
Cerita lain agar anak Anda ter-ajak tanpa merasa
diajak. Pertanyaanya adalah, bagaimana cara Anda dalam mempengaruhi
sang anak? Kita ambil “ SHOLAT!” sesuatu yang terkadang sulit
diterapkan kepada anak.
Mungkin Anda akan marah-marah jika anak
di suruh shalat tapi tidak mau, atau malah bersikap masa bodoh karena
mengnggap anak masih kecil. Jadi untuk shalat “ ga perlu2 amat.”
Ingat
pembiasaan itu di mulai dari kecil. Jika anak dibiasakan sedari kecil,
maka kebiasannya tersebut akan terbawa hingga dia dewasa.
Untuk
mengajak anak shalat beri ajakan seperti ini, “ Siapa yang mau ke
Syurga, di syurga enak lho kita bisa minta apa pun yang kita mau.
Tempatnya juga indah, banyak mainannya, banyak makanannya. Nah, Kalau
mau lihat syurga, kita harus rajin shalat . Siapa yang mau shalat bareng
Bapak? Yuuu,,,,”
Lebih efektif mana dengan kata-kata ini,”
Anak-anak, ayo kita shalat. Kalau ga shalat nanti masuk neraka. Mau ga
masuk neraka ?Ihh,” kata-kata ke dua ini lebih ke pengancaman,
belum apa-apa anak sudah takut duluan.
Atau mungkin, “Cepet
shalat, lelet amat! Kamu udah gede, mikir, mau jadi apa kalau ga pernah
shalat? Wah-wah, kata-kata ini malah lebih keren lagi.( sebaliknya,,hiyy)
Tiga-tiganya
bisa di pakai, tapi pikirkan mana kata-kata yang lebih baik bagi
psikologis anak?
Tentu saja sebelum Anda mengajak, Anda harus
terlebih dahulu mempraktekan dan mencontohkannya. Jangan hanya menyuruh
anak, Anda sendiri tidak pernah melakukannya! Apa mungkin di dengar oleh
Anak?
Ketika saya mengajar di suatu TK, saya
menemukan berbagai macam karakter anak. Ada anak yang diam, cerdas,
pasif, terlalu aktif (sering menjahili teman-temannya), dan juga
berbagai krakter lain yang unik.
Kita tidak bisa menyalahkan anak
dengan berbagai perilaku yang menurut kita “sangat menjengkelkan!”
Cobalah mulai untuk memahami karakter anak.
Anda orang tuanya,
jadi anda yang paling mengetahui bagaimana kondisi anak.
Separah-parahnya kondisi lingkungan luar / pergaulan di luar rumah, hal
tersebut tidak akan mengefek kepada anak selama anak diberikan pondasi
yang kuat mengenai keimanan dan taqwa, tanggung jawab, kepercayaan, dan
kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Senakal-nakalnya anak,
jangan pernah mengatakan anak itu adalah anak yang nakal. Tapi pujilah
dia dengan sebutan “Anak yang Shaleh dan Baik.” Pujian dapat
memberikan suatu keberanian dalam dirinya untuk mengatakan “ Saya
itu seseorang yang baik, ibu saya saja sering memuji.”
Berbeda
dengan sikap anda yang sering mengejek anak, atau malah mencap anak
dengan sebutan anak nakal. Anak bukannya jera dengan hal itu, dia malah
akan bertanya dalam dirinya, “Apakah saya benar-benar nakal? Saya
itu anak bodoh yang nilainya selalu jelek? Ya sudah, kalau begitu
anggapan ibu, saya akan benar-benar seperti apa yang dikatakan mereka.“
Keberhasilan seorang anak itu sebenarnya tergantung dari bagaimana
orang tuanya dalam mendampingi sang anak, terutama peranan seorang ibu
tanpa mengesampingkan ayah.
Seorang Toto Chan tidak
akan besar tanpa ibu yang mendampingi, seorang Thomas Alfa Edison tak
akan menjadi ilmuan tanpa bimbingan sang ibu, atau seorang Jamil
Al-jaini tidak akan menjadi seorang motivator tanpa suntikan
motivasi dari sang ayah. Ya, banyak orang-orang besar yang
tadinya dianggap tidak berhasil tapi malah menjadi orang yang sukses.
Siapa dibalik semua itu. Ibu dan ayah tentunya! Ibu dan ayah yang bijak
yang selalu memberi dorongan kepada sang anak.
Ingat, bagaimana
anak kita nanti, mau seperti apa anak kita? Tergantung dari orang tuanya
sendiri yang menamankan perilaku awal.
Anak itu seperti kertas
putih, mau seperti apa nantinya, orang tua lah yang terlebih dahulu
mengukirnya pada kertas putih itu.
Semoga tidak puas.
Banyaklah membaca, banyaklah memahami, banyaklah mengerti, banyaklah
mendengar dan banyaklah belajar barulah Anda akan memahami bagaimana
orang tua harus bersikap terhadap anak. Setelah itu, berbagilah cerita
kebehasilan Anda dengan saya,,maksudnya dengan orang-orang di sekitar
Anda.;)
Warisan yang paling berharga yang diberikan kepada anak
bukanlah harta tapi ilmu. Ilmu yang jika dibagi
bukannya berkurang tapi bertambah, ilmu yang tidak harus di jaga malah
akan menjaga.
Ya, ilmu yang membuatnya menjadi kaya dengan
kearifan, ilmu yang membuatnya menjadi seorang yang bijak, ilmu yang
membuatnya menjadi anak shaleh/ shalehah kebanggaan bagi kedua orang
tuanya.
Tegas dan disiplin, bukan berarti keras
Sementara
kasih sayang bukan berarti berlebihan
Semua ada
porsinya.
Walahu’alam bi shawab.
Juara Lomba Esay Ke III dalam Kuliah Kepenulisan II FLP Bandung- Belum Di Edit Ulang