Rabu, 27 April 2016

Sesuatu di Ruang Musik

Terbit di Majalah Pena edisi 445  2014 hal 30-32                                    
Sesuatu di  Musik
oleh Ani Nh Fazia
    
            “Disana ada suara-suara aneh!”teriaknya pada suatu hari.
Guru-guru yang lain ikut menimpali tidak kalah seru. Aku sendiri bersikap acuh, tak peduli.
“Kelas musik itu memang rada angker. Kadang-kadang bukan suara piano saja yang bunyi. Apa pun yang berbau musik pasti akan terdengar!“seru Bu Sally berapi-api.
Awalnya aku sendiri heran, kenapa kabel-kabel selalu dicabut. Kenapa pula puzzle-puzzle tidak dibiarkan ditempatnya. Tapi dilepas dan dipisahkan. Ternyata hal itu memang sengaja dilakukan, untuk menghindari bunyi. Suara dari puzzle yang kalau dicabut, kemudian dipasangkan kembali akan menghasilkan lagu.
“Jangan ketakutan seperti itu, paling itu halusinasimu saja, Bu,” kataku menenangkan.
“Lha, aku ndak parno. Yang lain sudah tahu, kamu sendiri saja yang ketinggalan zaman.”
“Kenapa jadi bawa-bawa jaman? “
“Kalau ketinggalan berita, itu sudah ndak aneh,”jawabnya sambil memanyunkan bibir.
Aku melongo takjub, sambil manggut-manggut setuju. Yang lain tertawa saja mendengar kata-kata yang dilontarkan bu Sally padaku. Tidak protes atau membela.
Esoknya, ketika aku datang ke sekolah. Perbicangan tentang keangkeran kelas musik makin santer merebak.
Sekarang bukan saja guru-guru, anak-anak ikut bergosip ala detektif. Sebetulnya, tidak tahu juga sih, detektif itu kalau bergosip seperti apa. Tapi perbincangan mereka benar-benar serius. Ini  jelas tidak dapat dibiarkan.  Harus  segera ditindak lanjuti agar tidak kebablasan.
Gawatnya, pasien halusinasi semakin bertambah. Bukan hanya ibu Sally, tapi ada ibu Imas, ibu Asih, dan Ibu Dora. Tentu saja, ini menambah kerjaan baru bagiku. Satu saja sudah sulit, apalagi ditambah beberapa pasien. Bisa-bisa aku yang malah ikutan gila seperti mereka.

“Bu Leti, berita ini benar-benar kenyataan“ ujar Bu Asih, sesama rekan kerjaku.
“Kenapa beritanya baru terdengar sekarang-sekarang, tidak dari dulu?”tanyaku tidak puas.
“Stt…“bu Asih mendekatkan mulutnya ditelingaku. “Mungkin datangnya baru-baru sekarang Bu. Sepertinya ruang musik adalah ruangan yang dianggap cocok dan pas sebagai rumah barunya.”
Hiyyy, bulu kudukku langsung merinding seketika. Hampir saja aku terhanyut oleh kata-katanya, membujukku untuk percaya dan takut.  Mulutku komat-kamit mulai bersuara, berdehem beberapa kali.
Perasaan empati tiba-tiba menjalari tubuhku. “Bu Asih, yang sabar ya. Saya berdo’a semoga Ibu tidak mendengar suara-suara aneh lagi. Percayalah, itu hanya sementara. Dunia kita sudah berbeda dengan mereka. Semoga Ibu cepat sembuh dari perasaan-perasaan takut.”
Mendengarku berkata seperti itu, bu Asih melengos kesal. Mulutnya ditekuk, tidak tertawa, tidak pula tersenyum. Dan esoknya, semua guru memusuhiku. Alasannya sepele. Aku dianggap makhluk aneh yang  tertinggal  zaman.  Tidak ada yang mengajakku bicara, tidak ada  yang menegur sapa. Semua  guru hanya bicara kalau ditanya. Persis seperti robot. Aku menjadi orang terkucil.
Malamnya, pikiran-pikiran aneh mulai berseliweran dikepalaku. Bagaimana kalau mereka benar dan aku salah.
“Ahh, kenapa gara-gara tidak percaya masalah jadi rumit seperti ini?“Aku tertawa geli. Semoga hari ini saja mereka berlaku seperti itu.
Masih terlalu pagi ketika mereka semua benar-benar mendiamkanku. Aku teramat bimbang, Bukan sehari atau dua hari. Lebih. Setelah kuhitung-hitung jari, ini adalah hari ketujuh. Kuacungkan jempol, mereka kuat sekali memegang prinsip mendiamkanku. Sudah seperti memegang kepercayaan saja rupanya.
Demi membela kehormatanku, maka kuputuskan datang lebih awal ke sekolah. Sepertinya aku mulai terbawa tidak waras. Tapi biarlah, demi harga diriku.
Hari masih terlihat remang, saat aku menggedor-gedor gerbang sekolah. Nekat minta dibukakan pintu. Tidak ada siapa-siapa. Terpaksa kudiamkan diriku mematung di depan gerbang. Satu jam berlalu saat satpam datang.
“Pagi sekali sudah datang, Bu?” sapa Tejo padaku yang malas tersenyum.
“Ah, tidak, saya juga baru datang…”jawabku menahan malu. Untung Tejo tidak banyak bertanya, aku merunduk dan segera pergi. Tak berkata apa-apa.
Aku mulai mempercepat langkahku, mengamati pintu ruang musik. Mendekatkan daun telingaku. Tak ada suara di sana.
“Yang kulakukan ini benar tidak ya?” kataku mulai marah-marah sendiri. Memegangi kepalaku yang tidak panas.
‘Cekrek ,,,!’Pintu berhasil kubuka.
‘Kreeeettt..’sekarang giliran kuseret keluar gagang pintu ruangan.
Mataku mulai memandangi ruangan, memicingkan mata seperti kucing. Kabel-kabel yang  tercerabuti sengaja kupasang. Puzzle-puzzle musik yang dilepas, kuambil dan kuletakkan kembali sesuai pasangnnya. Dan segala macam benda yang akan menimbulkan bunyi segera kunyalakan. Lama, benda-benda ini bukannya berbunyi malah membuatku jenuh menunggu. Apa aku hentikan saja rencana gila ini.
Pegal. Tubuhku hendak berdiri saat seseorang membuka ruangan musik.
“ Pagi, Bu?”sapa bu Sally hangat.
“Bu Sally, kukira siapa?”
“Pagi benar sudah datang, sengaja ya?”
Aku memalingkan mukaku. Bersikap acuh mendengar pertanyaannya. Malu rasanya.
“Bu Leti sengaja ya? Pasti mau membuktikan sesuatu di sini?” sindirnya lagi, lebih menusuk. “Bagaimana kalau ibu ajari saya main piano saja, sudah dipasang kabelnya. Sayang kan? ” tambahnya.
“Baiklah. Bu Sally sebaiknya duduk di samping saya, kita main bersama.“ Yah, dari pada menunggu sesuatu yang belum bisa dipastikan kebenarannya lebih baik main musik sekalian.
Permainan musiknya tidak terlalu bagus, tidak terlalu jelek juga. Biasa saja. Mestinya aku pura-pura percaya saja dari kemarin, dari pada berlaga mempertahankan argumenku yang sama-sama tidak jelas halang - hujurnya. Dengan begitu mereka semua tidak akan mogok bicara padaku.
“Mogok??“ Spontan wajahku beralih pada Bu Sally. Aku mulai memperhatikan wanita di depanku. Ada perasaan takut yang tiba-tiba menjalar di tubuhku. Merinding.
“Bu Sally?”tanyaku menyelidik.
Wanita itu merengut kesal. “Ada apa? Kenapa menatap saya seperti itu?”
Aku nyengir, menggaruk kapalaku yang tidak gatal.
“Saya ke kantor dulu, silahkan dilanjutkan misinya,“ucapnya sembari berlalu.
Aku menghela nafas panjang.  Termenung.  Akhirnya kuputuskan keluar  juga dari ruangan musik. Tak ada apa-apa. Gosip murahan.
Di kantor sudah banyak guru yang berkumpul. Mereka sama seperti kemarin, mendiamkanku. Hanya bu Sally yang masih tersenyum.
“Ibu-ibu dengarlah,  dari tadi pagi saya di ruang musik. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada bunyi-bunyi aneh,”seruku membuat pengumuman.
Mereka semua memandangku dengan cemas. Kali ini pandangannya berbeda dari kemarin. Pandangan simpati.
“Sepertinya Bu Leti harus memeriksakan diri ke dokter.”
“Saya tidak sakit.”
“Ibu sakit!”
“Tidak!”
“Ibu Leti, tadi pagi saya dan bu Asih mendengar ada bunyi piano di ruang musik. Karena penasaran, kami dekati. Dan kami melihat Ibu sedang bicara sendiri.”
“Siapa bilang, saya itu tadi sedang bercakap dengan Bu Sally. “
Mereka semua saling berpandangan.  “Bu Sally? Dari pagi kami tidak meihat Bu Sally”
“Bu Sally ada di depan Ibu-Ibu semua. Ini Bu Sally!“kataku sembari mendekati bu Sally.
Mereka semua tetap geleng-geleng kepala. Aku semakin keheranan. Ini sebenarnya aku sedang bermimpi atau mereka yang tidak beres?  Sementara itu, bu Sally masih ada di tempatnya, menatapku dengan sedih.
Telepon berdering. Bu Dini mengangkat telepon. “Iya, Pa! Apa? Kapan? Di mana?”
Pelan, bu Dini menutup gagang teleponnya.
Sejurus kemudian wajah bu Dini mengarah pada kami,“Bu Sally ditabrak mobil!”
Aku ternganga tak percaya. Sementara di sampingku wanita bernama Sally itu masih duduk manis sambil memandangku. Suaraku tercekat dikerongkongan. Aku ingin bangun dari mimpi ini. Aku butuh dokter ??***

Bandung, 22 Oktober 2013


Siapkah Diri Anda Menjadi Orang Tua?

Juara Ketiga Lomba Esai KK-II FLP 2013
Siapkah Diri Anda Menjadi Orang Tua?
Oleh : Ani  Nh  Fazia
Menjadi orang tua bukanlah pekerjaan mudah. Lantas hal apakah yang harus dilakukan untuk menjadi orang tua yang ideal bagi anak?
Pernahkan Anda sekalian mendengar kata-kata seperti ini ?
JIka anak dibesarkan dengan celaan,
dia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
dia belajar menentang.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
dia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan rasa malu,
dia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
dia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
dia belajar menjadi penyabar.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
dia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan,
dia belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan peneguhan,
dia belajar untuk menyukai diri sendiri.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran,
dia belajar kesejatian.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
dia belajar untuk mempercayai diri sendiri dan orang lain.
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan,
dia belajar bahwa dunia adalah tempat yang indah untuk hidup
Dorothy Law Nolte ( Marty, 2005: 36)


Bagi para orang tua yang baru saja mengetahui kata-kata di atas, saya ucapkan selamat untuk segera mempraktekannya.  Meskipun, saya juga tidak terlalu yakin, kalau orang tua yang  sudah mengetahui tulisan itu beberapa waktu lalu, apakah mereka  telah mempraktekannya, atau mungkin hanya dianggap angin lalu ?
Apakah Anda tahu, anak adalah aset yang paling berharga?
Lantas, ketika Anda dititipi anak oleh sang Pencipta, kenapa Anda justru menjadikannya objek sasaran baku tembak yang siap di Drill, atau dijejali dengan segudang keinginan Anda. Lebih parahnya lagi, anak  dijadikan sesuatu tak nilai yang bisa dikendalikan.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang bahasan di atas, marilah kia berjalan-jalan untuk mendengar kisah yang satu ini.

Di  ambil dari buku berjudul, “Anakku Seorang Skizofrenik !” yang ditulis oleh Beth Henry dan Vincent L. Pastore, Ph. D.
Buku tersebut menceritakan tentang perjalanan seorang ibu tiri dalam menangani seorang anak skizofrenia.   
Awalnya, anak tersebut sehat walafiat alias normal. Namun, sang ibu kandung kurang memperhatikan kondisi anak. Dia bersikap acuh tak acuh kepada anaknya sendiri. Sang ibu kandung dan sang ayah pun kerjanya hanya menghabis-habiskan waktu untuk perang mulut. Walhasil, cerailah keduanya.  
Sang anak berhasil diambil hak asuhnya oleh ibu kandungnya. Begitulah cinta yang tidak didasari dengan keimanan dan nafsu sesaat “ Putus Tengah Jalan..”
Apakah sang anak bahagia?  Kenyataan berkata lain, mulai dari pakaian, makan, kegiatan, perlakuan, semua amburadul.   
Si ibu malah lebih menghabiskan waktu dengan kekasih barunya, si ibu juga sering menitipkan anaknya untuk diasuh dan dirawat oleh kekasihnya itu. Perlahan, anak yang sangat manis itu berubah menjadi kumal, tidak terawat, parahnya lagi mungkin menjadi seorang “Monster”
Si ayah yang melihat kondisi anaknya tidak terurus memutuskan untuk membawa sang  anak tinggal bersamanya. Sang ibu kandung menyetujui dan mengizinkan sang ayah untuk membawa anaknya tersebut.

Saat itu, si ayah sudah menikah dengan wanita lain. Dia juga sudah mempunyai anak dari istri barunya. Ketika dibawa kehadapan ibu tirinya. Sang ibu tiri kaget luar biasa ,,,anak tirinya itu benar-benar dalam kondisi mengkhawatirkan, kurus, kering dan tidak terawat. Sang ibu tiri yang baik itu pun merawat anak tadi dengan kasih  sayang tanpa membeda-bedakan.  
Parahnya adalah, anak tersebut benar-benar sudah menjadi iblis. Kenapa disebut iblis?

Inilah beberapa tingkah laku yang sangat tidak wajar dilakukan anak.

Dihadapan yang lain si anak bersikap manis, namun di suatu waktu dia bisa berubah menjadi sosok lain yang sangat berbeda. Anak ini mempunyai kepribadian ganda yang sulit ditebak. Sering sekali si Anak menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama dengan suatu makhluk yang sebenarnya tidak ada. Dia memanggil makhluk itu dengan sebutan setan.
Halusianasinya telah mencapai tingkat tinggi yang terkadang dia sendiri tidak menyadari mana yang halusianasi dan mana yang asli. Dia mempunyai dunia sendiri yang tidak bisa dimasuki atau dijamah siapa pun.
Di sekolah, anak tersebut sering bersikap tidak normal. Pasalnya, dia selalu mengganggu anak perempuan dan dengan sengaja memegangi kemaluan anak perempuan tersebut.
Anak itu tak henti membuat kekacauan, dia bahkan sering memukul teman-temannya, dan bersikap tidak senonoh terhadap teman perempuannya.
Bukan hanya itu, dia juga tidak segan-segan menancapkan pensil pada kedua bola mata sang kakak tiri. Anak itu tidak pernah menyesal dengan perilakunya, dia malah merasa senang dan puas telah melakukan hal tersebut.   
Nafsunya untuk melukai orang-orang disekitarnya benar-benar tidak terkontrol. Dia bahkan tidak segan untuk membunuh orang. Padahal usianya baru 5 tahun. Anda bayangkan, anak sekecil itu?
Meskipun sang ibu tiri selalu memberikan cinta kepada sang anak, rupanya hal tersebut tidak berpengaruh sama sekali.
Anak tersebut malah sering melakukan berbagai cara untuk melenyapkan nyawa adik bayi tirinya.

Pernah suatu waktu si anak dengan sengaja mengambil pisau dan hendak menghunuskannya ke adik bayinya itu. Ibu tirinya yang melihat kelakuan anaknya merasa ketakutan, ia berlari mengambil bayi itu dan berusaha menghindari sang anak.
Sang anak yang melihat ibunya ketakutan hanya tertawa dan mengejar puas. Menggedor-gedor pintu yang dikunci sembari membawa-bawa pisau. 
Hal apakah yang menyebabkan anak sedemikian parahnya? Segala obat telah dicoba, ia pun telah menjalani pengobatan di rumah sakit dengan biaya yang sangat mahal. Tetap saja, usaha ini sia-sia.
Bapak dan ibu tahu kenapa? Karena anak tersebut menderita penyakit skizofrenia. Suatu penyakit yang sampai saat ini belum ada satu pun obat yang bisa menyembuhkan kecuali mengurang gejalanya saja.

Sebenarnya, apa penyebab anak mengalami gangguan yang luar biasa seperti itu? Tekanan apa yang melatar belakanginya?

Ternyata, anak yang tadinya normal tersebut mendapatkan perlakuan yang amat biadab dari kekasih ibu kandungnya.
Tiap pagi , si anak di suruh menyedot alat vital si kekasih ibunya. Si anak mengaku, ia merasakan dari alat vital yang di sedot itu keluar cairan berwarna putih yang selalu dimakannya tiap pagi. Kekasih ibunya itu  pun sering sekali menyiksa anak dan memasukannya ke kamar mandi, merendamnya selama berjam-jam di dalam bak.
Itu bukan apa-apa.,,    Hal yang paling mencengangkan adalah perlakuan dari ibu kandungnya sendiri yang tidak waras. Sangat tidak masuk akal?
Apa mungkin ada seorang ibu yang menodai kehormatan anaknya sendiri? Kenyataannya memang seperti itu. Sang ibu sering menggigit dan menyedot alat vital anak tersebut, berbuat tidak senonoh kepada anak kandungnya sendiri. Perbuatan yang membuat siapa pun yang mendengar merasa sesak dengan perbuatan sang ibu.
Apakah anak tersebut sembuh?  Sampai dipenghujung cerita, anak tersebut tidak dapat kembali ke sifatnya seperti sedia kala. Panyakit yang pada akhirnya harus membuatnya tinggal di rumah sakit khusus. 
Cerita ini benar-benar diambil dari kisah nyata !!
Seringkali orang tua berkata, “Surga itu ada di telapak kaki, ibu”, “Seorang anak harus patuh dan taat kepada orang tuanya!”, “Jangan jadi Anak durhaka, Kamu!”

Ya, itu memang benar adanya. Tetapi, apa Anda tidak pernah merasakan menjadi seorang anak?  Kilas balik, bagaimana rasanya?
Sebagai orang tua yang bijak, tentu akan lebih baik lagi jika kita memahami dan mengenali kondisi psikologis anak. Cobalah untuk memaafkan kesalahan anak, duduk bersama-sama dengan anak, menjadi teman berbaginya dan lakukan pendekatan yang baik dengan anak.
Semakin dewasa seorang anak, maka keegoannya semakin tinggi, dia menjadi sosok yang tidak mau di tentang dan di atur. Dia ingin bebas, dia ingin keinginannya didengar oleh orang tuanya.  
Orang tua pun tentu seperti itu, merasa tinggi, ingin dihormati, ingin di segani, ingin anaknya tidak melawan dan ingin anaknya bersikap tidak memusuhi.
Tapi kita harus ingat!
Anak bukanlah robot atau malaikat yang diam dan tunduk mengikuti semua aturan. Anak kita adalah milik Allah , dia itu hanya titipan sementara.
“Keteladanan itu lebih berguna dan bermakna  dibanding dengan seribu kata-kata!” Jika Anda menginginkan anak anda menjadi seseorang yang taat. Maka penuhilah hak-hak anak. Anda tahu betapa Rasulullah adalah seseorang yang begitu penyabar dalam menghadapi anak-anaknya?
Anak yang baik, dihasilkan dari cara didik yang baik. Bukan dalam artian mengerasi anak atau malah memanjakan anak secara berlebihan.
Sebagai contoh kecil, “Apa yang anda lakukan ketika melihat anak anda pulang malam, tanpa memberi kabar sebelumnya?”  Inilah hal yang mungkin anda katakan, “Kemana saja kamu, pulang jam segini, tidak  malu apa?”
Sadar atau tidak, kata-kata tersebut secara tidak langsung telah menjauhkan diri Anda dengan sang anak. Telah membuat garis pemisah yang sangat lebar, telah membuat pengurangan harga diri Anda dihadapan sang anak, telah membuat ketakutan sekaligus penanaman rasa benci dalam diri anak untuk mulai berontak.
Akan ada respon lain (positif) ketika Anda berkata, “Baru pulang, sayang? Kamu bersihkan muka dulu ya, ibu nanti mau berbicara sebentar sama kamu, “ ucapakan hal tersebut dengan suatu sentuhan yang ditujukan kepada anak.
Survey membuktikan, suatu hubungan akan semakin harmonis jika di dalam hubungan tersebut terdapat kontak fisik secara langsung “meski pun hanya sebuah sentuhan,”

Anda jangan merasa malu berbuat seperti itu terhadap anak. Anda juga jangan merasa gengsi  untuk mengucapkan maaf  atau mengucapkan terimakasih  kepada anak. Bukankah itu hal yang baik untuk membiasakan anak melakukan hal yang sama seperti yang Anda lakukan?  
Cerita lain agar anak Anda ter-ajak tanpa merasa diajak. Pertanyaanya adalah, bagaimana  cara Anda dalam mempengaruhi sang anak?  Kita ambil contoh “ Sholat!” sesuatu yang terkadang sulit diterapkan kepada anak.
Mungkin Anda akan marah-marah jika anak di suruh shalat tapi tidak mau, atau malah bersikap  masa bodoh karena menganggap anak masih kecil. Jadi untuk shalat “ tidak terlalu penting.”
Ingat, pembiasaan itu di mulai dari kecil. Jika anak dibiasakan sedari kecil, maka kebiasannya tersebut akan terbawa hingga dia dewasa.
Untuk mengajak anak shalat beri ajakan seperti ini,  “ Siapa yang mau ke syurga, di syurga enak lho kita bisa minta apa pun yang kita mau. Tempatnya juga indah, banyak mainannya, banyak makanannya. Nah, Kalau mau lihat syurga, kita harus rajin shalat . Siapa yang mau shalat bareng Bapak? Yuuu,,,,”
Lebih efektif mana dengan kata-kata ini,” Anak-anak, ayo kita shalat. Kalau tidak  shalat nanti masuk neraka. Mau tidak  masuk neraka ?Ihh,” kata-kata ke dua ini lebih ke pengancaman, belum apa-apa anak sudah takut duluan.
Atau mungkin, “Cepat shalat, malas  amat! Kamu sudah besar, mikir, mau jadi apa kalau tidak pernah shalat? Wah-wah, kata-kata ini malah lebih kasar lagi. Anak bukan saja terancam tapi ia akan membuat pertahanan kuat untuk membantah.
Tiga-tiganya bisa di pakai, tapi pikirkan mana kata-kata yang lebih baik bagi psikologis anak?
Tentu saja sebelum Anda mengajak, Anda harus terlebih dahulu mempraktekan dan mencontohkannya. Jangan hanya menyuruh anak, Anda sendiri tidak pernah melakukannya! Apa mungkin didengar oleh anak?
Seorang guru yang mengajar di suatu TK, mungkin akan menemukan berbagai macam karakter anak.  Ada anak yang diam, cerdas, pasif,  terlalu aktif (sering menjahili teman-temannya), dan juga berbagai krakter lain yang unik.
Kita tidak bisa menyalahkan anak dengan berbagai perilaku yang menurut kita “sangat menjengkelkan!”  Cobalah mulai untuk memahami karakter anak.

Anda orang tuanya, jadi anda yang paling mengetahui bagaimana kondisi anak. Separah-parahnya kondisi lingkungan luar / pergaulan di luar rumah, hal tersebut tidak akan mengefek kepada anak selama anak diberikan pondasi  yang kuat mengenai keimanan dan taqwa, tanggung jawab, kepercayaan, dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Senakal-nakalnya anak, jangan pernah mengatakan anak itu adalah anak yang nakal. Tapi pujilah dia dengan sebutan “Anak yang Shaleh dan Baik.” Pujian dapat  memberikan  suatu keberanian dalam dirinya untuk mengatakan “ Saya itu seseorang yang baik, ibu saya saja sering memuji.”
Berbeda dengan sikap anda yang sering mengejek anak, atau malah mencap anak dengan sebutan anak nakal. Anak bukannya jera dengan hal itu, dia malah akan bertanya dalam dirinya, “Apakah saya benar-benar nakal? Saya itu anak bodoh yang nilainya selalu jelek? Ya sudah, kalau begitu anggapan ibu, saya akan benar-benar seperti apa yang dikatakan mereka.
Keberhasilan seorang anak itu sebenarnya tergantung dari bagaimana orang tuanya dalam mendampingi sang anak, terutama peranan seorang ibu tanpa mengesampingkan ayah.
Seorang Toto Chan  tidak akan besar tanpa ibu yang mendampingi, seorang Thomas Alfa Edison tak akan menjadi ilmuan tanpa bimbingan sang ibu, atau seorang Jamil Al-jaini tidak akan menjadi seorang motivator tanpa suntikan dorongan dari sang ayah.  Ya, banyak orang-orang besar yang tadinya dianggap tidak berhasil tapi malah menjadi orang yang sukses. Siapa dibalik semua itu. Ibu dan ayah tentunya! Ibu dan ayah yang bijak dan selalu memotivasi sang anak.
Ingat, bagaimana anak kita nanti, mau seperti apa anak kita? Tergantung dari orang tuanya sendiri yang menamankan perilaku awal.
Anak itu seperti kertas putih, mau seperti apa nantinya, orang tua lah yang terlebih dahulu mengukirnya pada kertas putih itu.
Banyaklah membaca, banyaklah memahami, banyaklah mengerti, banyaklah mendengar dan banyaklah belajar barulah anda akan memahami bagaimana orang tua harus bersikap terhadap anak.
Warisan yang paling berharga yang diberikan kepada anak bukanlah harta tapi ilmu. Ilmu yang jika dibagi  bukannya berkurang tapi bertambah, ilmu yang tidak harus di jaga malah akan menjaga.
Ilmu yang membuatnya menjadi kaya dengan kearifan, ilmu yang membuatnya menjadi seorang yang bijak, ilmu yang membuatnya menjadi anak shaleh/ shalehah kebanggaan bagi kedua orang tuanya. Semoga kita dijadikan orang tua yang memberi kenyamanan dan keteladanan bagi anak.
Walahu’alam bi shawab.

                                                       Bandung, Februari 2011 

                                        

Nb. Meskipun saat ini saya belum menikah dan mempunyai seorang anak, saya berharap suatu saat nanti saya dapat menjadi ibu yang dapat memberikan rasa nyaman terhadap anak-anak saya kelak. Menjadikan rumah sebagai syurga yang menentramkan. Baiti jannati, aamiin. Mohon doanya.